Soal Usulan Soeharto Jadi Pahlawan, Putri Gus Dur: Ada Jejak Panjang Pelanggaran HAM hingga Korupsi
Aktivis Jaringan Gusdurian, Anita Wahid, bicara soal usulan gelar pahlawan untuk Soeharto. Foto: Dok. Anita Wahid
MerahPutih.com - Aktivis Jaringan Gusdurian, Anita Wahid, menegaskan penolakannya terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Ia menilai, gelar pahlawan tidak dapat disematkan kepada sosok yang meninggalkan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan represi politik.
“Kalau kita melihat tiga hal ini, maka sebenarnya ada satu kata yang lebih dekat ke situ dibandingkan pahlawan, yaitu diktator. Dan diktator dan pahlawan itu enggak bisa disematkan pada satu orang yang sama. Enggak matching,” kata Anita dalam diskusi tolak Soeharto jadi pahlawan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Sabtu (8/11).
Menurut putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto justru berpotensi menghapus memori kolektif bangsa terhadap kejahatan masa lalu.
“Kalau kita memilih memberikan pahlawan, artinya kemudian kita menarik kata diktator yang kita sematkan ke beliau. Itu bahaya banget karena akan mengubah semua memori kolektif kita terhadap kejahatan-kejahatan masa lalu,” ujarnya.
Baca juga:
Hasil Survei LSI Denny JA: Soeharto Jadi Presiden RI yang Paling Disukai
Anita Wahid Kenang Masa Kecil yang Penuh Tekanan dan Intimidasi
Anita juga mengenang masa kecilnya di era Orde Baru yang penuh tekanan dan intimidasi terhadap keluarga Gus Dur. Ia menceritakan bagaimana dirinya, saat masih duduk di bangku SMP, kerap menerima ancaman melalui sambungan telepon rumah.
“Setiap sore antara jam 3 sampai 5, selalu ada telepon ke rumah. Begitu aku angkat, suara laki-laki di seberang bilang keras banget, ‘Heh! Bilang sama bapakmu, suruh dia diam! Kalau dia enggak diam, nanti saya kirim kado gede, isinya kepala bapakmu’,” tutur Anita.
Ancaman itu, kata dia, berlangsung hampir setiap hari ketika Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dan berselisih dengan penguasa kala itu.
“Bayangin diterima oleh anak umur 12–13 tahun. Itu trauma banget. Tapi lama-lama aku sama adikku malah ngelawakin aja, karena mau gimana lagi,” kata Anita.
Baca juga:
AJI dan ELSAM Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Diktator dan Pelanggar HAM!
Meski mencoba menertawakan, pengalaman itu meninggalkan bekas mendalam baginya.
“Enggak ada anak di negara ini yang seharusnya diperlakukan seperti itu,” tambahnya.
Ia juga mengingat masa di mana keluarganya kerap diingatkan oleh Gus Dur untuk bersiap jika sewaktu-waktu harus melarikan diri keluar negeri karena ancaman keselamatan.
“Bapak sering bilang, ‘Kita siap-siap ya untuk kabur. Enggak usah bawa apa-apa, yang di badan aja.’ Padahal Bapak kan orangnya santai banget. Kalau sampai ngomong seserius itu, berarti situasinya memang genting banget,” kenangnya.
Indonesia Sering Maafkan Pelaku Pelanggaran di Masa Lalu
Anita menegaskan, bangsa Indonesia kerap memaafkan pelaku pelanggaran masa lalu tanpa menegakkan akuntabilitas. Padahal, menurutnya, kedua hal itu harus berjalan beriringan agar kesalahan serupa tidak terulang.
Ia mengingatkan, warisan otoritarianisme Soeharto telah merusak institusi demokrasi dan membungkam kebebasan publik, termasuk pers dan aktivis.
“Zaman itu, kita bahkan enggak berani ngomong ke teman sendiri, apalagi mempertanyakan apa yang terjadi di negara ini. Semua orang bisa saling lapor demi keselamatannya sendiri,” kata Anita.
Pada kesempatan ini, Anita menyinggung bahwa ayahnya, Gus Dur, tidak pernah berjuang demi penghargaan atau gelar apa pun.
Baca juga:
“Gus Dur enggak pernah dikenal karena beliau presiden. Tapi karena he was standing with the people, berdiri bersama rakyat, membela rakyatnya. Itu yang membuat beliau dicintai,” ujar Anita.
Ia menilai, penghargaan pahlawan seharusnya diberikan bukan karena jabatan, melainkan karena jasa nyata bagi kemanusiaan dan bangsa.
“Kalau Gus Dur enggak dikasih gelar pahlawan nasional, enggak apa-apa. Beliau enggak pernah hidup untuk ngejar gelar atau glorifikasi. Tapi coba tanya, berapa dari kita yang bisa bilang mau meneruskan apa yang Soeharto lakukan tanpa ada agenda memperkaya diri?” imbuhnya. (*)
Bagikan
Soffi Amira
Berita Terkait
Komnas HAM Kecewa Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Minta Kasus Dugaan Pelanggaran di Masa Lalu Tetap Harus Diusut
Menteri HAM Ogah Komentar Detail Soal Gelar Pahlwan Soeharto
Golkar Solo Bakal Gelar Tasyakuran Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Marsinah Dijadikan Pahlawan Nasional, Bukti Negara Mulai Menghargai Kelompok Buruh
Dari Akademisi hingga Diplomat, Kiprah Prof. Mochtar Kusumaatmadja Kini Diabadikan sebagai Pahlawan Nasional
Gus Dur dan Syaikhona Kholil Jadi Pahlawan Nasional, PKB: Bentuk Pengakuan Negara atas Jasa Besarnya
Ubedilah Badrun Sebut Gelar Pahlawan untuk Soeharto Bukti Bangsa Kehilangan Moral dan Integritas
Soeharto & Marsinah Barengan Jadi Pahlawan Nasional, SETARA Institute Kritik Prabowo Manipulasi Sejarah
Aktivis Reformasi Sebut Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Bentuk Pengaburan dan Amnesia Sejarah Bangsa
Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Pimpinan Komisi XIII DPR Singgung Pelanggaran HAM Orde Baru