Restoran 'Dipaksa' Berubah Demi 'Tetap Hidup' Saat Pandemi


Ada sejumlah perubahan pada restoran yang maksudnya positif namun menjengkelkan di masa pandemi (Foto: pixabay/engin akyurt)
SAAT pandemi melanda, sejumlah industri mengalami penurunan omzet. Bahkan, tidak sedikit yang gulung tikar karena tidak ada pemasukan sama sekali. Tak terkecuali bisnis restoran atau rumah makan.
Di bulan-bulan awal pandemi melanda Indonesia, banyak orang yang memilih untuk membatasi aktivitas di luar rumah bila tidak penting.
Baca Juga:
Pandemi COVID-19 Mengubah Layanan Perawatan Mobil Serba dari Rumah
Karena banyaknya masyarakat yang memilih menghabiskan waktu di rumah, restoran-restoran yang mengandalkan pemasukan dari makan di tempat, bak terkena 'tamparan keras' karena menurun drastisnya omzet penjualan.
Namun, para pengusaha restoran pun tidak lantas pasrah dengan keadaan dan berdiam diri. Mereka berusaha sekuat tenaga demi bisnis tetap bisa berjalan. Sejumlah cara pun dilakukan, seperti halnya menggencarkan promosi lewat online, dan memperkuat di layanan pesan antar.
Meski begitu, banyak sejumlah pengusaha yang mengeluhkan bahwa menjual makanannya secara online tidak bisa mencukupi biaya operasional dan gaji karyawan.
Seiring berjalannya waktu dan kasus pandemi mulai menurun, Pemerintah mulai melonggarkan sejumlah restoran agar bisa makan di tempat. Tapi dengan catatan restoran tersebut harus memenuhi sejumlah protokol kesehatan.
Seperti yang dikutip dari covid.go.id, pertama-tama, restoran wajib atur sirkulasi dan batasan waktu kunjungan. Kedua pengunjung yang ingin masuk wajib mengenakan masker dan menjaga jarak antrean.
Kemudian syarat selanjutnya yakni membatasi jumlah pengunjung 40% dari kondisi normal, bersihkan lokasi dengan desinfektan secara rutin, dan melarang masuk orang dengan gejala pernapasan batuk/flu/sesak napas serta suhu diatas 37,3 derajat celcius.
Baca Juga:
Kemudian, pengelola restoran, rumah makan dan kafe wajib memastikan semua karyawan yang bertugas negatif dari COVID-19. Mereka harus mengenakan masker, face shield dan sarung tangan, serta memiliki suhu badan di bawah 37,3 derajat celcius.

Dalam kenyataannya, tak hanya langkah-langkah tersebut yang diterapkan oleh restoran. Seperti halnya pada beberapa restoran, sistem pemesanan diubah dari buku menu menjadi scan barcode demi meminimalkan sentuhan.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit orang-orang yang mengeluhkan cara melihat menu dan memesan lewat aplikasi. Khususnya bagi orang-orang tua yang belum begitu 'melek' teknologi. Salah satunya Maya, seorang Ibu-ibu asal Tangerang yang mengaku kesulitan dalam mengakses menu makanan.
"Bingung dah kagak ngerti scan barcode gitu, kita kan mau makan yah. Tapi malah dibikin ribet, apalagi kalau udah lapar banget kan repot. Anak muda sih enggak apa-apa, lah orang tua ini kagak ngerti gitu-gituan," tutur Maya kepada merahputih.com.
Akhirnya, saking kesalnya, Maya memutuskan untuk pindah di restoran yang 'enggak ribet'. Kemudian langsung mencari tempat makan lainnya.
"Daripada lama ini itu, scan barcode lah, apa lah, saya pindah aja ke tempat lain. Heran mau makan aja dibikin ribet," keluhnya.

Selain perbedaan melihat buku menu makanan dari scan barcode, Maya juga mengeluhkan tentang pembayaran cashless.
"Cashless itu juga bikin ribet menurut saya, soalnya kan enggak semua orang bisa pakai ovo, go-pay. Terus enggak semua orang juga punya ATM, kadang kan ibu-ibu bawanya uang cash aja, bagus sih niatnya, cuma mungkin kita butuh pembiasaan aja," kata Bu Maya.
Selain scan barcode, dan pembayaran cashless satu hal yang menjadi perhatian banyak masyarakat tentang kebiasaan baru makan di restoran ialah pembatasan jumlah orang dalam satu meja makan.

Memang, tak dimungkiri bahwa pembatasan jumlah orang dalam satu meja makan merupakan upaya mengurangi jumlah pengunjung guna menurunkan risiko penyebaran Virus COVID-19.
Tapi, di sisi lain banyak juga warga yang mengeluh ketika harus terpisah jarak makan atau terpisah meja saat ingin makan bersama orang-orang terkasih.
Salah satu yang merasakan hal itu ialah Arafi, seorang pegawai swasta asal Tangerang. Arafi mengatakan pembatasan itu cukup menjengkelkan karena 'mengganggu' kebersamaan makan bersama orang-orang terdekatnya.
"Sekarang kan satu meja makan gak bisa full tuh sesuai protokol kesehatan, misal datang berlima, yang tiga sama yang dua harus misah meja. Kan enggak seru yah, niat mau makan bareng tapi malah kayak musuhan jauh-jauhan. Jadi enggak asyik aja," kata Arafi.
Baca Juga:
Meski demikian, Arafi tak menentang pembatasan pengunjung dalam satu meja makan. Baginya kepentingan dan kesehatan bersama jauh lebih penting.
"Dibilang jengkel sih iya. Tapi mau gimana, kita harus berjuang bersama dan patuhi protokol kesehatan, biar Indonesia bisa bebas dari 'kopat kopit' itu," tambahnya.
Pembiasaan baru di sejumlah restoran mungkin ada beberapa yang sulit diterima masyarakat. Tapi protokol kesehatan yang harus dilakukan itu memiliki maksud baik. Intinya, kita harus tetap menerapkan protokol kesehatan di manapun kita berada. (ryn)
Baca juga:
Kisah Inspiratif Survivor Kasus 01 COVID-19 Sita Tyasutami Menghadapi Perundungan
Bagikan
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

[HOAKS atau FAKTA]: Pengunjung Restoran Bayar Royalti Lagu, Masuk dalam Tagihan Makanan dan Minuman yang Dipesan
![[HOAKS atau FAKTA]: Pengunjung Restoran Bayar Royalti Lagu, Masuk dalam Tagihan Makanan dan Minuman yang Dipesan](https://img.merahputih.com/media/fa/5b/59/fa5b59623912d20675302ab53332e08a_182x135.jpg)
Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke
