Regulasi Tidak Jelas, THR Untuk Ojek Online Berpotensi Tak Terealisasi

Sejumlah pengemudi ojek daring menunggu calon penumpang di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (20/10/2023). ANTARA FOTO/Khaerul Izan/Ak/tom.
Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) untuk para pengemudi ojek online berpotensi tidak berjalan mulus. Pasalnya, Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan mengenai aturan THR untuk pengemudi ojol tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam SE ini, pemerintah hanya mengimbau perusahaan aplikasi (aplikator) untuk memberikan bonus hari raya keagamaan 2025 sebagai wujud kepedulian dan nilai-nilai Pancasila kepada para pengemudi dan kurir online.
"Saya melihat pemerintah dalam hal ini sadar betul bahwa tidak bisa memaksa, tetapi hanya mengimbau para aplikator memberikan THR," kata Pengamat transportasi, Azas Tigor Nainggolan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (12/3).
Tigor menuturkan, penerbitan SE ini belum menyelesaikan masalah. "Ini hanya solusi kemanusiaan jangka pendek, sebagai wujud kepedulian sesuai nilai-nilai Pancasila," jelas Tigor.
Baca juga:
Pengemudi Ojol Sambut Gembira Bonus Hari Raya di Era Prabowo
Permasalahan lainnya, lanjut Tigor, adalah aplikator tidak mengakui diri mereka sebagai perusahaan angkutan umum, melainkan sebagai perusahaan penyedia layanan aplikasi. Selain itu, model bisnis aplikator belum diatur dalam sistem hukum di Indonesia.
"Posisi belum diaturnya bisnis aplikator secara hukum ini juga membuat pemerintah tidak bisa mewajibkan atau bersikap tegas kepada para aplikator yang membangun bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia," tutur Tigor.
Dengan tidak adanya regulasi hukum mengenai bisnis aplikasi atau bisnis e-commerce, pemerintah tidak bisa bersikap tegas terhadap para aplikator.
"Jadinya, ya, seperti sekarang ini, SE Menaker hanya mengimbau pemberian THR karena para pengemudi ojek online statusnya hanya mitra aplikator," imbuh ketua Forum Warga Kota Jakarta ini.
Tigor juga mengingatkan bahwa Surat Edaran Menaker hanya berlaku internal bagi instansi yang mengeluarkannya, dan SE bukanlah regulasi hukum.
"SE itu bukan regulasi hukum karena tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia," imbuh Tigor.
Baca juga:
Tigor mengingatkan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
"Begitu pula peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," jelas Tigor.
Dia pun meminta agar SE ini dicabut saja agar tidak menimbulkan kekacauan hukum dan merusak wibawa pemerintah.
"Pemerintah sebagai regulator seharusnya bertanggung jawab membuat regulasi hukum untuk melindungi rakyat, dalam hal ini para pengemudi ojek online dan kurir online," tutup Tigor.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
159 Ribu Netizen Teken Petisi Tolak Pemecatan Kompol Cosmas di Kasus Rantis Brimob Lindas Ojol

Peringati 7 Hari Kematian Affan Kurniawan, Ojol Solo Nyalakan Lilin dan Pasang Bendera Setengah Tiang

Kompolnas Imbau Warga Rekam Brimob Tabrak Ojol Serahkan Video ke Polisi, Untuk Bukti Pemidanaan

Polri Pecat Kompol Cosmas K Gae Buntut Rantis Brimob Lindas Ojol hingga Tewas

Begini Cara Grab Memilih Perwakilan Ojol untuk Bertemu dengan Wapres Gibran

Aplikator Pastikan Ojol yang Berdiskusi dengan Wapres Gibran Adalah Mitra Resmi

Kompolnas Berharap Gelar Perkara Ojol Tewas Ditabrak Rantis Brimob Hari Ini Bisa Jadi Awal Pemidanaan

Asosiasi Pastikan Pengemudi Ojol yang Bertemu Wapres Gibran Bukan Anggota Mereka

Kompol Cosmas dan Sopir Rantis Brimob Tewaskan Affan Terancam Dipecat Tidak Hormat

2 Mitra Ojol Meninggal dan 3 Masih Dirawat di RS Imbas Demo, Ini Nama-namanya
