Psikolog: Individu dengan Trauma Masa Kecil Miliki Empati Lebih Besar


Traumatis masa kecil pada anak-anak (Foto: Pexels/Pixabay)
MENGALAMI peristiwa traumatis di masa kecil dapat memprediksi tingkat depresi yang lebih tinggi saat dewasa. Kisah kelam yang terjadi di masa kanak-kanak juga dapat memprediksi tingkat agresi, kekerasan, gangguan kepribadian, serta beberapa masalah kesehatan fisik yang lebih tinggi.
Jelas, bahwa peristiwa traumatis dapat dan memang memiliki dampak negatif yang sangat besar pada kehidupan seseorang di masa mendatang.
Baca juga:
Tetapi ada beberapa hal dalam hidup yang memiliki efek searah universal. Dengan kata lain, bahkan hal-hal buruk pun bisa memiliki dampak baik.
"Saya telah mendengar pasien yang tak terhitung jumlahnya duduk di sofa saya dan merenungkan bahwa setelah selamat dari hal-hal mengerikan yang terjadi pada mereka telah memberi mereka kemampuan untuk memahami bagaimana orang lain dapat terluka," ujar David J Ley, PhD, seorang psikolog klinis.
"Kalimat seperti 'setelah apa yang saya alami dari ibu saya, saya tidak pernah bisa menimbulkan rasa sakit seperti itu pada orang lain, apalagi anak-anak saya. Saya tahu persis betapa sakitnya itu, dan bagaimana bekas luka itu memengaruhimu,' sering terlontar dari mulu pasien saya," jelasnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ley ditemukan bahwa orang yang mengalami trauma masa kanak-kanak memiliki kemampuan yang lebih besar untuk berempati dengan orang lain.
Dalam penelitian inovatif lain yang diterbitkan dalam jurnal PLoS One, para peneliti New York dan Cambridge mengeksplorasi hubungan trauma masa kanak-kanak dengan kemampuan berempati sebagai orang dewasa.
Greenberg dan timnya melakukan beberapa penelitian dengan menggunakan responden mTurk untuk mengidentifikasi dan memeriksa bagaimana pengalaman trauma masa kanak-kanak mempengaruhi hasil pengukuran dan faktor empati yang berbeda.
Baca juga:
Empati, kemampuan untuk mengenali, menanggapi, dan bahkan 'merasakan' perasaan orang lain, dapat dipecah menjadi tiga komponen utama.
Pertama empati afektif, di mana kita merasakan, di dalam hati dan hati kita, perasaan yang sedang atau mungkin dialami orang lain. Saat kita melihat orang lain menderita, kita 'merasakan' sakit bersama mereka.
Kedua, empati kognitif. Di mana kita dapat mencitrakan diri kita sendiri ke dalam posisi orang lain dan pengalaman mereka. Komponen penting dari hal ini adalah 'pengambilan perspektif' dan latihan intelektual untuk memikirkan seperti apa rasanya, agar orang lain mengalami apa adanya.
Ketiga, keterampilan atau simpati sosial. Di mana perasaan empati kita memotivasi kita menuju tindakan dan keterlibatan sosial, mungkin untuk meringankan penderitaan orang lain.

Dalam studi ini, para peneliti menggunakan dua ukuran empati yang berbeda, memberikannya ke dua sampel besar, melalui pengujian elektronik.
Dalam studi pertama, para peneliti menemukan bahwa dari 387 partisipan, 309 pernah mengalami trauma masa kanak-kanak, dan 78 pernah mengalami trauma masa kecil.
Dalam studi kedua, dari 442 peserta, 348 mengungkapkan kesulitan dan trauma masa kanak-kanak, dan 94 tidak mengungkapkannya. Sekitar 65 persen dari keseluruhan peserta adalah perempuan, dan lebih dari 75 persen peserta berkulit putih, yang merupakan salah satu dari sedikit batasan penelitian, karena beberapa penelitian menunjukkan dampak trauma yang tidak proporsional dengan status minoritas.
Pada studi pertama, para peneliti menemukan bahwa pengalaman trauma masa kanak-kanak secara kuat memprediksi tingkat empati afektif yang lebih tinggi, tetapi bukan empati kognitif.
Menariknya, jenis pengalaman trauma yang berbeda memiliki efek yang berbeda, dengan kematian orang tua atau anggota keluarga yang berkorelasi dengan peningkatan empati kognitif, sementara bentuk trauma lain, termasuk pelecehan seksual dan fisik, memprediksi tingkat empati afektif yang lebih tinggi. (avia)
Baca juga:
Bagikan
Ananda Dimas Prasetya
Berita Terkait
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga

Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak

Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas

Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
