Psikologi

Psikolog: Individu dengan Trauma Masa Kecil Miliki Empati Lebih Besar

Ananda Dimas PrasetyaAnanda Dimas Prasetya - Senin, 21 September 2020
Psikolog: Individu dengan Trauma Masa Kecil Miliki Empati Lebih Besar

Traumatis masa kecil pada anak-anak (Foto: Pexels/Pixabay)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MENGALAMI peristiwa traumatis di masa kecil dapat memprediksi tingkat depresi yang lebih tinggi saat dewasa. Kisah kelam yang terjadi di masa kanak-kanak juga dapat memprediksi tingkat agresi, kekerasan, gangguan kepribadian, serta beberapa masalah kesehatan fisik yang lebih tinggi.

Jelas, bahwa peristiwa traumatis dapat dan memang memiliki dampak negatif yang sangat besar pada kehidupan seseorang di masa mendatang.

Baca juga:

Benarkah Hobi Selfie Tanda Gangguan Narsistik?

Tetapi ada beberapa hal dalam hidup yang memiliki efek searah universal. Dengan kata lain, bahkan hal-hal buruk pun bisa memiliki dampak baik.

"Saya telah mendengar pasien yang tak terhitung jumlahnya duduk di sofa saya dan merenungkan bahwa setelah selamat dari hal-hal mengerikan yang terjadi pada mereka telah memberi mereka kemampuan untuk memahami bagaimana orang lain dapat terluka," ujar David J Ley, PhD, seorang psikolog klinis.

"Kalimat seperti 'setelah apa yang saya alami dari ibu saya, saya tidak pernah bisa menimbulkan rasa sakit seperti itu pada orang lain, apalagi anak-anak saya. Saya tahu persis betapa sakitnya itu, dan bagaimana bekas luka itu memengaruhimu,' sering terlontar dari mulu pasien saya," jelasnya.

Psikolog: Individu dengan Trauma Masa Kecil Miliki Empati Lebih Besar
Anak-anak dengan trauma masa kecil harus dirangkul (Foto: Pexels/Ana Shvets)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ley ditemukan bahwa orang yang mengalami trauma masa kanak-kanak memiliki kemampuan yang lebih besar untuk berempati dengan orang lain.

Dalam penelitian inovatif lain yang diterbitkan dalam jurnal PLoS One, para peneliti New York dan Cambridge mengeksplorasi hubungan trauma masa kanak-kanak dengan kemampuan berempati sebagai orang dewasa.

Greenberg dan timnya melakukan beberapa penelitian dengan menggunakan responden mTurk untuk mengidentifikasi dan memeriksa bagaimana pengalaman trauma masa kanak-kanak mempengaruhi hasil pengukuran dan faktor empati yang berbeda.

Baca juga:

Empat Alasan Mengapa Sering Mengeluh Bosan

Empati, kemampuan untuk mengenali, menanggapi, dan bahkan 'merasakan' perasaan orang lain, dapat dipecah menjadi tiga komponen utama.

Pertama empati afektif, di mana kita merasakan, di dalam hati dan hati kita, perasaan yang sedang atau mungkin dialami orang lain. Saat kita melihat orang lain menderita, kita 'merasakan' sakit bersama mereka.

Kedua, empati kognitif. Di mana kita dapat mencitrakan diri kita sendiri ke dalam posisi orang lain dan pengalaman mereka. Komponen penting dari hal ini adalah 'pengambilan perspektif' dan latihan intelektual untuk memikirkan seperti apa rasanya, agar orang lain mengalami apa adanya.

Ketiga, keterampilan atau simpati sosial. Di mana perasaan empati kita memotivasi kita menuju tindakan dan keterlibatan sosial, mungkin untuk meringankan penderitaan orang lain.

Psikolog: Individu dengan Trauma Masa Kecil Miliki Empati Lebih Besar
Trauma masa kecil hidupkan empati (Foto: Pexels/Caleb Oquindo)

Dalam studi ini, para peneliti menggunakan dua ukuran empati yang berbeda, memberikannya ke dua sampel besar, melalui pengujian elektronik.

Dalam studi pertama, para peneliti menemukan bahwa dari 387 partisipan, 309 pernah mengalami trauma masa kanak-kanak, dan 78 pernah mengalami trauma masa kecil.

Dalam studi kedua, dari 442 peserta, 348 mengungkapkan kesulitan dan trauma masa kanak-kanak, dan 94 tidak mengungkapkannya. Sekitar 65 persen dari keseluruhan peserta adalah perempuan, dan lebih dari 75 persen peserta berkulit putih, yang merupakan salah satu dari sedikit batasan penelitian, karena beberapa penelitian menunjukkan dampak trauma yang tidak proporsional dengan status minoritas.

Pada studi pertama, para peneliti menemukan bahwa pengalaman trauma masa kanak-kanak secara kuat memprediksi tingkat empati afektif yang lebih tinggi, tetapi bukan empati kognitif.

Menariknya, jenis pengalaman trauma yang berbeda memiliki efek yang berbeda, dengan kematian orang tua atau anggota keluarga yang berkorelasi dengan peningkatan empati kognitif, sementara bentuk trauma lain, termasuk pelecehan seksual dan fisik, memprediksi tingkat empati afektif yang lebih tinggi. (avia)

Baca juga:

Jauhi Orang Dengan Ciri-Ciri Berikut, Mereka Berbahaya

#Psikologi #Kesehatan #Kesehatan Mental
Bagikan
Ditulis Oleh

Ananda Dimas Prasetya

nowhereman.. cause every second is a lesson for you to learn to be free.

Berita Terkait

Indonesia
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga
Langkah ini merupakan bagian dari agenda besar pemerintah dalam memperkuat jaring pengaman sosial, terutama bagi masyarakat rentan.
Alwan Ridha Ramdani - Kamis, 02 Oktober 2025
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga
Lifestyle
Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak
Pertambahan mata minus ini akan mengganggu aktivitas belajar maupun perkembangan anak
Angga Yudha Pratama - Rabu, 01 Oktober 2025
Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak
Fun
Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas
Satu dari tiga orang dewasa di Indonesia memiliki kadar kolesterol tinggi.
Ananda Dimas Prasetya - Selasa, 30 September 2025
Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas
Indonesia
Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan
Peredaran rokok ilegal dinilai sangat mengganggu. Sebab, peredarannya bisa merugikan negara hingga merusak kesehatan masyarakat.
Soffi Amira - Kamis, 25 September 2025
Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan
Indonesia
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak
Pemerintah DKI melalui dinas kesehatan akan melakukan penanganan kasus campak agar tidak terus menyebar.
Dwi Astarini - Jumat, 12 September 2025
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak
Indonesia
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian
Langkah cepat yang diambil jajaran Dinkes DKI untuk mencegah penyakit campak salah satunya ialah melalui respons penanggulangan bernama ORI (Outbreak Response Immunization).
Dwi Astarini - Selasa, 09 September 2025
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian
Indonesia
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
Lonjakan kasus malaria yang kembali terjadi setelah daerah tersebut sempat dinyatakan eliminasi pada 2024 itu harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Dunia
Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat
Menkes AS juga menghapus program pencegahan penyakit yang krusial.
Dwi Astarini - Rabu, 03 September 2025
Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat
Lifestyle
Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
Mereka yang membatasi makan kurang dari delapan jam sehari memiliki risiko 135 persen lebih tinggi meninggal akibat penyakit kardiovaskular.
Dwi Astarini - Selasa, 02 September 2025
Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
Bagikan