Profesionalisme Guru: Panggilan Etis Melawan Profesionalisme Legitimasi
Ilustrasi. Foto: ANT/IST/NET
Oleh: Odemus Bei Witono*
PROFESIONALISME guru merupakan sebuah topik perbincangan yang tak pernah usai, sebab menyentuh inti dari kualitas pendidikan dan masa depan suatu bangsa.
Definisi ideal dari profesionalisme yang demikian ternyata memiliki dualisme yang menarik, namun keduanya tetap bersepakat dalam satu hal fundamental: bahwa dia harus selalu menghubungkan pemahaman tentang benar dan salah dengan gagasan profesionalisme itu sendiri, menjadikannya sebuah isu berdimensi etis.
Dualisme inilah yang memicu kenyamanan dan ketidaknyamanan guru ketika label "profesional" dilekatkan pada pekerjaan mulia mereka.
Bagi sebagian besar guru yang telah mendedikasikan hidupnya, istilah profesional merupakan sebuah panggilan luhur yang menandakan adanya refleksi dan pemahaman mendalam tentang pengambilan tanggung jawab atas seluruh kegiatan belajar dan mengajar.
Baca juga:
Presiden Rehabilitasi 2 Guru SMA di Luwu Utara, Komisi II DPR: Kepala Daerah Jangan Asal Pecat Guru
Profesionalisme versi demikian didukung keterlibatan dan komitmen bertahun-tahun dalam pendidikan. Proses pengajaran bukan sekadar transfer ilmu, melainkan tindakan yang didasarkan serangkaian keyakinan dan pemahaman etika yang diartikulasikan secara jelas mengenai tujuan pendidikan itu sendiri.
Guru-guru ini melihat profesionalisme sebagai otonomi dan kewajiban moral untuk memberikan yang terbaik, mengedepankan inovasi, serta terus mengembangkan kompetensi mereka.
Namun, tidak sedikit pula guru yang merasakan ketidaknyamanan ketika istilah profesionalisme digunakan, karena mereka mengingat apa yang oleh Grace pada tahun 1987 disebut sebagai 'profesionalisme yang dilegitimasi' yang marak muncul sejak era 1930-an.
Baca juga:
Profesionalisme jenis ini sering kali berfokus pada kontrol, birokrasi, dan pemenuhan syarat-syarat eksternal seperti sertifikasi dan kualifikasi formal, alih-alih pada kedalaman etika dan kualitas pedagogis.
Mereka merasa bahwa gagasan profesionalisme berpotensi mereduksi peran guru dari agen moral dan intelektual yang mandiri menjadi sekadar pelaksana teknis yang diukur berdasarkan kepatuhan administratif semata.
Tantangan Profesionalisme Guru di Era Modern
Tantangan dalam menerapkan profesionalisme guru di lapangan menjadi semakin kompleks di era modern ini, terutama ketika kita menghadapi tuntutan besar dari Era Milenial dan Era Globalisasi.
Guru kini dituntut melakukan pergeseran peran dari pengajar yang berpusat pada dirinya (teacher-centered) menjadi fasilitator dan kreator pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered), yang secara tegas diusung oleh kebijakan-kebijakan baru.
Perubahan semacam itu memerlukan adaptasi radikal, tidak hanya dalam metodologi mengajar, tetapi juga dalam pola pikir dan komitmen personal.
Selain perubahan peran, tuntutan untuk menguasai dan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) secara efektif juga menjadi tantangan hidup kinerja yang tidak bisa dihindari.
Baca Juga:
Memaknai Kunjungan Paus Agar Kreativitas Kaum Muda Gereja Terus Bergerak Maju
Pembelajaran kini diharapkan mampu berintegrasi dengan teknologi, menuntut guru terus belajar dan berinovasi agar dapat menyajikan materi relevan dan menarik bagi generasi digital, sehingga profesionalisme tidak hanya mencakup etika, tetapi juga literasi teknologi tinggi.
Sayangnya, tantangan struktural berupa kesenjangan kualitas dan fasilitas juga masih menjadi penghalang serius bagi banyak guru untuk mencapai profesionalisme ideal.
Keterbatasan sarana prasarana, kurangnya dukungan pengembangan karier yang memadai, dan beban administratif berlebihan sering kali menggerus energi guru, membuat mereka kesulitan untuk fokus pada esensi etis dan pedagogis dari profesi mereka.
Tugas Ganda Guru
Lebih jauh lagi, peran guru tidak melulu terbatas pada penyampaian materi pelajaran; mereka juga memikul tanggung jawab lebih berat, yaitu membentuk pribadi peserta didik agar dapat beretika, jujur, dan bertanggung jawab.
Tugas ganda tersebut menuntut totalitas pengabdian dan loyalitas yang melampaui deskripsi pekerjaan formal, yang menjadi penanda paling jelas dari profesionalisme berbasis etika yang sesungguhnya.
Maka, pertanyaan mendasar muncul: mengapa profesionalisme guru, khususnya yang berbasis pada etika dan refleksi mendalam, menjadi sangat dibutuhkan dalam konteks pendidikan sekarang?
Jawabannya terletak pada misi utama pendidikan itu sendiri, yaitu mewujudkan manusia seutuhnya, bukan sekadar mencetak tenaga kerja. Profesionalisme yang kuat memastikan bahwa tujuan pendidikan tidak tereduksi hanya pada nilai akademis semata, tetapi juga pada pembentukan karakter dan martabat manusia.
Baca juga:
Revolusi Pendidikan: Mengintegrasikan Humanisme dalam Era Digital
Kebutuhan akan profesionalisme yang kuat juga sangat penting untuk menghadapi krisis pembelajaran yang dilaporkan terjadi di banyak tempat. Di tengah isu penurunan kemampuan dasar siswa, guru profesional adalah kunci utama untuk pemulihan dan peningkatan mutu pendidikan, yang dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar peningkatan anggaran atau pembangunan infrastruktur.
Selanjutnya, profesionalisme yang didukung pemahaman etika yang mendalam menjadi benteng bagi guru untuk menjaga otonomi dan kemandirian profesi di tengah tekanan birokrasi dan standardisasi yang ketat. Kemampuan guru untuk mempertahankan keputusan pedagogis terbaik yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan etika adalah esensi dari profesionalisme yang tidak bisa digantikan oleh regulasi eksternal manapun.
Pada akhirnya, profesionalisme guru yang sejati menjadi prasyarat untuk menghasilkan 'Agent/Leader of Change' di dalam masyarakat. Guru profesional yang menguasai ilmu, teknologi, dan etika merupakan "Pahlawan Tanpa Senjata" yang berperan vital dalam menghasilan generasi penerus yang cerdas, dan juga memiliki integritas, serta siap menghadapi kompleksitas serta tantangan abad ke dua puluh satu. (*)
*Penulis adalah Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
Tulisan merupakan opini pribadi Romo Odemus Bei Witono, tidak mewakili padangan redaksi MerahPutih.com
Bagikan
Wisnu Cipto
Berita Terkait
Profesionalisme Guru: Panggilan Etis Melawan Profesionalisme Legitimasi
Presiden Rehabilitasi 2 Guru SMA di Luwu Utara, Komisi II DPR: Kepala Daerah Jangan Asal Pecat Guru
Prabowo Beri Rehabilitasi untuk 2 Guru Luwu Utara yang Dipecat karena Pungutan Rp 20 Ribu, Hak dan Martabat kembali Kaya Dulu
Merasa Jadi Korban selama Bertahun-tahun, 2 Guru dari Luwu Utara Terharu Usai Dapat Surat Rehabilitasi dari Prabowo
Dua Guru Luwu Utara Korban Kriminalisasi Dana BOS Akhirnya Bisa Kembali Mengajar Tanpa Stigma
Prabowo Beri Hak Rehabilitasi bagi 2 Guru Luwu Utara, Mensesneg: Guru Harus Dilindungi, Bukan Dihukum
2 Guru di Luwu Utara Diberhentikan Usai Bela Rekan Honorer, DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang
Menag Ungkap Pagu Efektif Pendidikan Islam 2025 Disesuaikan Jadi Rp 26,11 Triliun
KPAI Tuntut Usut Tuntas Kematian Siswa Pahoa, Jangan Sampai Korban Dicap Stigma Negatif
Bandung Ingin Dicitrakan Sebagai Kota Pendidikan