Perang Rusia-Ukraina Jadi Alasan Tunda Pemilu 2024 Dinilai Mengada-ada
Persiapan logistik kotak suara Pemilu 2019 di Gedung Serba Guna (GSG) Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Rabu, (10/4/2019). (Foto: MP/Rizki Fitrianto)
MerahPutih.com - Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengusulkan penundaan Pemilu 2024. Salah satu alasannya yaitu karena perang Rusia dan Ukraina.
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, alasan tersebut terlalu dipaksakan.
“Itu kan jauh sekali alasannya, dipaksakan sekali,” ujar Feri dalam diskusi virtual bertajuk “Tolak Penundaan Pemilu 2024”, Sabtu (26/2).
Baca Juga:
Penundaan Pemilu 2024 Berpotensi Ancam Stabilitas, Langkah Tegas Jokowi Ditunggu
Feri mengatakan, pelaksanaan pemilu penting untuk membangun stabilitas negara.
Atas dasar itu, dia menekankan akan berbahaya jika kemudian Pemilu 2024 ditunda terlalu jauh demi alasan-alasan yang tidak jelas.
Untuk mendukung pandangannya, Feri mencontohkan Amerika Serikat (AS) yang tidak menunda pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu panjang.
Meski, saat itu AS sedang menghadapi Serangan 11 September 2001.
Oleh sebab itu, dia menekankan Pemilu 2024 dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal.
“Demi melindungi konstitusi, kita semua harus bersuara. Jika terjadi pelanggaran konstitusi, menurut saya memang harus diberi ancaman dan hukuman yang serius dalam aspek ketatanegaraan,” ungkapnya.
Baca Juga:
Gerindra Ogah Ikutan Wacana Tunda Pemilu, Fokus Jadikan Prabowo Presiden
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut, masyarakat harus menolak penundaan Pemilu 2024, termasuk perpanjangan masa jabatan presiden.
Arya memaparkan sejumlah alasan. Menurutnya, penundaan pemilu mengingkari komitmen demokrasi.
Arya menegaskan, komitmen berdemokrasi di Indonesia ditandai dengan adanya batasan periode jabatan presiden.
Di Indonesia, masa jabatan presiden dibatasi dua periode.
Dalam Pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih untuk lima tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan.
“Jadi, dorongan untuk memperpanjang itu, sekali lagi mengingkari komitmen demokratis ya,” ujar Arya.
Arya mengatakan, perpanjangan masa jabatan presiden akan menutup atau mengunci terjadinya suksesi kepemimpinan secara nasional.
“Jadi, bayangkan kalau ada perpanjangan jabatan atau penundaan pemilu, pelaksanaan pemilu akan diundur dan tidak terjadi suksesi kepemimpinan di tingkat nasional,” tutur Arya.
Arya menambahkan, tidak ada kompetisi dalam politik apabila pemilu ditunda.
Arya mengatakan dalam negara-negara demokrasi, pejabat publik dipilih melalui pemilu.
“Karena tidak ada kompetisi politik, dapat dikatakan tidak demokratis, maka gagasan tersebut atau dorongan itu jelas adalah tindakan yang tidak demokratis,” ucap Arya.
Arya menegaskan, penundaan pemilu sudah sepatutnya ditolak karena mengingkari prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan.
Dalam sistem presidensial, ada doktrin soal pembatasan kekuasaan yang tujuan untuk memberikan kemungkinan regenerasi politik dan sirkulasi kepemimpinan di semua level.
“Makanya kepala daerah juga ada time limitnya, presiden dan anggota DPR juga ada time limit-nya supaya ada sirkulasi elite,” ucap Arya. (Knu)
Baca Juga:
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
[HOAKS atau FAKTA]: Ketua Harian PSI Usulkan Duet Gibran-Jokowi di Pilpres 2029
Ketua Komisi II DPR Kritik KPU: Kalau Bisa Pakai Pesawat Biasa, Kenapa Harus Private Jet?
KPK Pelajari Putusan DKPP Usut Pengadaan Pesawat Jet Pribadi KPU RI
KPU Sewa Jet Pribadi Rp 90 M Saat Pemilu 2024, Komisi II DPR RI Naik Pitam dan Ancam Bongkar Semua Rincian Penggunaan APBN
KPU DKI Sebut Kursi DPRD Bisa Berkurang Jadi 100, Imbas UU DKJ Baru
Ogah Buka Dokumen Capres-Cawapres, KPU Jadi Tidak Transparan
KPU Minta Maaf Bikin Gaduh soal Dokumen Capres-Cawapres, Apresiasi Masukan Masyarakat
KPU Batalkan Aturan Kerahasiaan 16 Dokumen Syarat Capres-Cawapres, Termasuk Soal Ijazah
Ijazah Capres/Cawapres tak Ditampilkan ke Publik, Roy Suryo: ini Seperti Beli Kucing dalam Karung
KPU Tutup Akses Dokumen Capres-Cawapres, DPR Ibaratkan Beli Kucing dalam Karung