Pekan Astronomi Jakarta, Merayakan Warisan Pengetahuan Astronomi Nusantara


Masyarakat Nusantara karib dengan astronomi. (Foto: Merahputih.com/Zulthan Vigilio)
MASYARAKAT Nusantara adalah masyarakat yang karib dengan astronomi. Kedekatan ini terejawantah dari kalender, almanak pertanian, navigasi pelayaran, dan berbagai tradisi yang menggunakan fenomena astronomi sebagai penandanya.
“Bintang sejak dahulu memiliki banyak kegunaan untuk para pekerja. Dulu bintang sangat digunakan di sektor pertanian, dan sebagainya,” ujar Dr. Restu Gunawan, Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kemendikbud Ristek, dalam seminar “Planetarium, Budaya dan Alam Semesta” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (12/8).
Seminar ini bagian dari Pekan Astronomi Jakarta (PAJ) yang digelar dari 7 sampai 13 Agustus 2023 oleh Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Selain seminar, ada pula pameran bertajuk “Mengungkap Kearifan Astronomi dalam Budaya Nusantara”.
Perjalanan panjang peradaban manusia diisi oleh kekaguman pada keindahan dan misteri langit. Manusia berupaya mengungkap objek-objek dan fenomena langit dengan seksama.
Baca juga:

Dari sini pula, manusia membangun pengetahuan empiris tertua atau ilmu astronomi. Ilmu ini menjadi sistem rujukan universal bagi orientasi arah dan waktu. Melalui keduanya, manusia dapat menemukan korelasi antara objek-objek langit dan fenomena alam di bumi.
Bukti kemelekatan masyarakat Nusantara dengan astronomi juga tampak dari peribahasa “di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung”. "Peribahasa ini menunjukkan adanya hubungan antara bumi dan langit sebagai kesatuan tak terpisahkan," kata Lisa Febriyanti, peneliti astronomi Masyarakat Papua.
Di Biak-Numfor, Jayapura, Papua, jejak kedekatan bangsa Indonesia dengan astronomi masih terlihat jembar. Suku Biak-Numfor mempelajari pergerakan benda langit untuk membuat almanak yang masih berlaku hingga hari ini dari ribuan tahun lampau.
Meski begitu, penggunaan almanak tersebut kian tersingkirkan akibat maraknya penggunaan kalender masehi secara global.
Baca juga:
Jelang Lebaran, Fenomena Astronomi Gerhana Matahari Hibrida Warnai Langit Indonesia

PAJ bertujuan menghidupkan kembali keajaiban astronomi dan menguatkan kearifan lokal masyarakat Nusantara terhadap benda dan fenomena langit.
PAJ merupakan salah satu kegiatan rutin tahunan Planetarium dan Observatorium Jakarta Unit Pengelola Pusat kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki untuk merayakan pengetahuan astronomi Nusantara.
“Menurut saya, kenapa kita tidak angkat lagi pelajaran masa lalu dari nenek moyang. Saat ini teknologi berkembang. Jadi, menggunakan Global Positioning System untuk menentukan arah. Padahal zaman dulu menghitung kehamilan saja menggunakan rasi bintang," kata Hanna Maresfin, kurator PAJ.
"Menurut saya, anak muda sekarang harus diajarkan, minimal mengetahui warisan budaya ini, untuk bertahan hidup di saat teknologi tidak bisa digunakan, seperti contoh kita tersesat di gunung,” sambung Hanna Maresfin.
Tahun ini, PAJ menyelenggarakan beberapa bentuk kegiatan seperti pameran, seminar, workshop, observasi langit, dan kegiatan keastronomian lainnya.
PAJ digelar untuk menyambut hari ulang tahun ke-78 Republik Indonesia. Acara mengenal astronomi ini sangat penting untuk mengenang warisan pengetahuan nenek moyang yang telah mengkaji benda dan fenomena langit sebagai penunjang kehidupan. (zvw)
Baca juga:
Pakar Astronomi ITB Raih Penghargaan dari Royal Astronomical Society
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Kayak Manusia, Kucing Juga Bisa Kena Demensia

Populasi Serangga Terancam Alterasi Pola El Nino yang Dipicu Perubahan Iklim

Arkeolog Temukan Bukti Penyintas Letusan Gunung Vesuvius Kembali Tinggal di Reruntuhan Pompeii

Batu Mars Terbesar di Dunia Dilelang, Terjual Seharga Rp 86,25 Miliar

Jokowi Terkena Alergi Parah, para Ahli Sebut Perubahan Iklim Memperburuk Kondisi Ini

Kenapa Kita Suka Share dan Lihat Konten Hewan Lucu di Media Sosial? Ini Jawaban Ilmiahnya!

Strawberry Moon di Yogyakarta dan Malang! Ini Fakta Menarik di Baliknya yang Terjadi 18,6 Tahun Sekali

Bahaya Screen Time Terlalu Lama Bagi Anak, Dari Cemas hingga Agresif

Seniman Tak Mau Kalah dari Ilmuwan yang Temukan Olo, Ciptakan Warna Baru yang Disebut Yolo

Ilmuwan Klaim Temukan Warna Baru yang Disebut Olo, Dianggap Bisa Bantu Penyandang Buta Warna
