PDPI Tegaskan Belum Ada Terapi Termanjur untuk COVID-19
Ilustrasi virus COVID-19 mulai bermutasi. (Foto: pixabay/tumisu)
Merahputih.com - Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Agus Dwi Susanto, Sp P (K) menegaskan hingga saat ini belum ditemukan kombinasi terapi yang paling manjur untuk mengobati COVID-19.
"Memang saat ini belum ada terapi spesifik untuk COVID-19, tidak ada sampai saat ini di seluruh dunia. Belum ditemukan," ujar Agus dalam diskusi Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Selasa (18/8).
Tetapi, para pakar kemudian menyepakati empat regimen pengobatan untuk membantu pengobatan pasien COVID-19 berdasarkan literatur dan kajian yang ada sampai saat ini.
Baca juga:
Dari empat regimen tersebut, tiga yang tersedia di Indonesia, karena ketiadaan Remdesivir. Kombinasi tersebut memiliki kesamaan di obat pertama yaitu penggunaan Azitromisin atau Levofloksasin dan obat kedua Klorokuin atau Hidroksiklorokuin.
Kedua obat itu kemudian dikombinasi antara pilihan pertama memakai Oseltamivir, kedua Favipiravir dan ketiga Lopinavir ditambah Ritonavir. Jenis obat keempat adalah vitamin untuk mendukung pengobatan.
Ketiga kombinasi itu adalah regimen pengobatan yang dilakukan kepada pasien sejak kasus pertama COVID-19 muncul di Indonesia.
Namun, dia menegaskan belum ada pengujian yang membuktikan regimen mana yang paling baik untuk merawat pasien COVID-19.
"Kita sejauh ini belum ada riset membandingkan ketiganya. Penggunaannya berdasarkan emergeny use dari Badan POM," kata dia.
Menurut data hasil regimen pengobatan yang dikumpulkan PDPI, penggunaan obat oleh pasien bergejala ringan di RS Darurat Wisma Atlet pada Maret-April 2020 menunjukkan 99,3 persen dari 413 pasien berhasil sembuh.
Sementara itu data dari RSUP Persahabatan periode Maret-31 Juli 2020 memperlihatkan pada kasus ringan terdapat 100 persen dari 87 pasien sembuh dengan regimen yang ada, kasus sedang 96,4 persen dari 141 pasien berhasil sembuh, dan kasus berat 88,1 persen dari 176 pasien.
Baca Juga:
COVID-19 Bermutasi di Malaysia, Ahli Patogen Tiongkok Redam Ketakutan Massal
Namun dalam pasien dengan derajat awal masuk kritis memperlihatkan 79,6 persen dari 142 pasien kritis meninggal akibat penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu.
Karena itu, ada tambahan obat yang diberikan terutama kepada pasien berat dan kritis COVID-19 seperti Deksamethason dan Antikoagulan. (*)
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Penanganan Penyakit Tuberculosis Bakal Contoh Pola Pandemi COVID-19
Kasus ISPA di Jakarta Naik Gara-Gara Cuaca, Warga Diminta Langsung ke Faskes Jika Ada Gejala
Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID
Kemenkes Temukan 1 Kasus Positif COVID dari 32 Spesimen Pemeriksa
178 Orang Positif COVID-19 di RI, Jemaah Haji Pulang Batuk Pilek Wajib Cek ke Faskes Terdekat
Semua Pasien COVID-19 di Jakarta Dinyatakan Sembuh, Tren Kasus Juga Terus Menurun Drastis
Jakarta Tetap Waspada: Mengungkap Rahasia Pengendalian COVID-19 di Ibu Kota Mei 2025
[HOAKS atau FAKTA]: Vaksin COVID-19 Terkoneksi Bluetooth di Aplikasi Handphone
KPK Minta Tolong BRI Bantu Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19
KPK Periksa 4 Orang Terkait Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19, Ada Staf BRI