Pandemi Munculkan Dilema antara Mencuci Tangan dan Kelangkaan Air


Mencuci tangan yang menjadi kunci pertahanan diri dari virus COVID-19 malah menimbulkan dilema kelangkaan air. (Sumber: Pexels/burst)
KETIKA dunia menghadapi pandemi virus corona, para ahli mengatakan cara terbaik untuk meminimalkan kemungkinan terjangkit COVID-19 ialah dengan mencuci tangan secara menyeluruh dan sering. Namun, bagaimana jika kamu tidak memiliki akses ke air bersih?
Saat ini, dengan adanya virus corona di setiap benua, kecuali Antartika, mencuci tangan menjadi tantangan yang sulit di banyak negara berkembang. Air bersih dan sabun sering kali tidak tersedia. Banyak penghuni permukiman kumuh bahkan tinggal di rumah tanpa air mengalir.
Menurut informasi dari UN Water, lebih dari 40 persen populasi dunia tinggal di daerah dengan air merupakan hal yang makin langka. Angka itu mungkin akan meningkat. Setiap hari, hampir 1.000 anak meninggal karena penyakit terkait dengan air dan sanitasi yang buruk.
BACA JUGA:
'Samudra', Game Asal Indonesia Bertemakan Kesadaran Lingkungan
Penggunaan air telah meningkat di seluruh dunia dari masa ke masa. Itu disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi dan perubahan pola konsumsi. Pada saat yang sama, persediaan air semakin terancam oleh perubahan iklim, penggunaan berlebihan, dan polusi.
Selama 40 tahun terakhir, banyak negara telah membuat kemajuan besar dalam mengolah air limbah, menyediakan air minum bersih bagi penduduk, dan meningkatkan pasokan air untuk menumbuhkan makanan dan serat yang dibutuhkan. Namun peneliti yang berfokus pada pengelolaan dan kebijakan sumber daya air mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi kelangkaan air.

Meski sanitasi dan air bersih amat penting, banyak daerah yang mengalami kelangkaan air.(Sumber: Pexels/ mikhail nilov)
Menurut David Feldman, ahli pembangunan dari Universitas California menyebut krisis air dunia bukanlah masalah kelangkaan, melainkan pengelolaan yang buruk dan distribusi yang tidak merata. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan meningkatnya permintaan air di sektor industri, domestik, dan pertanian menandakan orang-orang mulai hidup lebih baik, berkat kemajuan dalam memanfaatkan air tawar untuk menanam pangan dan serat serta untuk konsumsi publik. Namun, para ahli mencatat tiga bidang di mana kemajuannya tertinggal.
Pertama, lebih dari dua miliar orang tinggal di negara yang mengalami tekanan air yang tinggi, dan sekitar 4 miliar orang mengalami kelangkaan air yang parah selama setidaknya satu bulan dalam setahun. Masalah-masalah ini secara langsung disebabkan oleh meningkatnya permintaan air dan efek intens dari perubahan iklim.
Kedua, di saat sejumlah negara menghabiskan uang untuk meningkatkan akses ke air (seringkali dengan memprivatisasi pasokan), beberapa negara justru harus berhadapan dengan akses air bersih yang tidak memadai. Hampir 800 juta orang di seluruh dunia kekurangan sanitasi yang diperbarui. Dalam banyak kasus, banyak orang yang masih menggunakan bemtuk jamban primitif dimana kotoran mereka langsung dibuamg ke sungai. Hal tersebut tentu merusak lingkungan dan mencemari sungai. Di seluruh dunia, lebih dari 80% air limbah dari aktivitas manusia tetap tidak diolah.
Ketiga, di negara dengan infrastruktur air memburuk, orang-orang membuang obat-obatan, produk perawatan pribadi, dan barang-barang rumah tangga lainnya ke sungai. Tren ini menambahkan kontaminan yang persisten dan sulit diobati ke pasokan air dan mengancam kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Masalah-masalah itu menakutkan, tetapi kemajuan mungkin terjadi jika badan yang fokus pada pengelolaan air dan pejabat pemerintah melibatkan publik, mengindahkan saran berbasis bukti dari para ahli dan menjalankan kepemimpinan politik.
Sebagai langkah pertama, pemerintah perlu fokus pada perencanaan jangka panjang dan tanggapan yang terkoordinasi. Seringkali tanda peringatan dini diabaikan oleh pejabat publik karena kurangnya kemauan politik atau rasa urgensi.
Kedua, penting untuk mengenali masalah air sebagai tantangan keadilan lingkungan. Program Hidrologi Internasional PBB mempromosikan kesetaraan air, mengakui bahwa beban kekeringan yang berkepanjangan, tekanan air dan persediaan yang terkontaminasi menjadi tidak dapat ditoleransi. Di Amerika Serikat, kota dan negara bagian berjanji untuk tidak memutus pasokan air ke rumah tangga yang gagal membayar tagihan mereka selama krisis virus corona.
Dengan membangun atau memulihkan kepercayaan publik sangat penting untuk mengatasi masalah ini. Pengalaman Melbourne, Australia yang pernah menghadapi kekeringan menunjukkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengatasi masalah masyarakat, dan untuk menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan pada lembaga yang bertanggung jawab untuk menerapkan solusi.(Avia)
Bagikan
Berita Terkait
Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID

Sarinah Jakarta E-Prix Sukses Kelola 21,4 Ton Sampah, Diubah Jadi Bahan Baku Baru dan Kompos

Kemenkes Temukan 1 Kasus Positif COVID dari 32 Spesimen Pemeriksa

178 Orang Positif COVID-19 di RI, Jemaah Haji Pulang Batuk Pilek Wajib Cek ke Faskes Terdekat

Semua Pasien COVID-19 di Jakarta Dinyatakan Sembuh, Tren Kasus Juga Terus Menurun Drastis

Jakarta Tetap Waspada: Mengungkap Rahasia Pengendalian COVID-19 di Ibu Kota Mei 2025

KPK Minta Tolong BRI Bantu Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19

KPK Periksa 4 Orang Terkait Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19, Ada Staf BRI

COVID-19 Melonjak, Ini Yang Dilakukan Menkes Budi Gunadi Sadikin

COVID-19 Mulai Melonjak Lagi: Dari 100 Orang Dites, Sebagian Terindikasi Positif
