Parenting

Orangtua, Jangan Sampai Lakukan Emotional Incest kepada Anak

Dwi AstariniDwi Astarini - Selasa, 05 September 2023
Orangtua, Jangan Sampai Lakukan Emotional Incest kepada Anak

Banyak orangtua berperilaku emotional incest kepada anaknya. (Foto: Pixabay_ZeeNBee)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MENYAYANGI dan mencintai anak sepenuh hati memang kewajiban orangtua. Selain memberikan kasih sayang tanpa pamrih, orangtua juga memiliki kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan anak mulai dari kebutuhan emosional, finansial, akademik, nonakademik, hingga hiburan sehari-hari. Namun, ternyata masih banyak yang menganggap anak sebagai investasi masa depan sehingga segala hal yang sudah diberikan orangtua dianggapnya harus diganti sang anak di kemudian hari.

Tak terkecuali orangtua yang terpaksa menjadi single parents. Tanpa mendiskreditkan status sebagai single parents, pada kenyataannya, menurut Healthline, fenomena emotional incest lebih banyak dilakukan single parent meski memang orangtua yang utuh pun tak luput dari kemungkinan melakukan emotional incest. Sejatinya emotional incest merupakan perilaku orangtua mengikat anak seutuhnya untuk mengabdi kepada orangtua termasuk menggantikan salah satu peran orangtua jika telah tiada.

BACA JUGA:

Yuk Tumbuhkan Emosi Positif Anak di Masa Lebaran

1. Tidak membiarkan anak berkembang

anak
Anak tidak boleh pergi jauh dari orangtua. (Foto: Pixabay_JESHOOTS-com)

Orangtua yang cenderung berperilaku emotional incest biasanya tak ingin berjauhan dengan sang anak. Alhasil biasanya anak tidak boleh mengambil studi di luar kota apalagi di luar negeri. Bekerja pun kalau bisa yang dekat dengan rumah orangtuanya. Berkali-kali mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan karier di luar negeri pun terpaksa pupus sebelum kamu membuka suara. Orangtua yang berperilaku emotional incest selalu ikut campur segala urusan anak agar sang anak bisa selalu di dalam kontrolnya.

2. Menggantikan peran salah satu orangtua yang hilang

Kehidupan manusia memang sangat singkat. Tak pernah ada yang mengetahui usia seseorang hingga akhirnya ajal menjemput. Salah satu hal yang paling menakutkan bagi pasangan suami istri adalah kehilangan satu sama lain. Tak hanya karena ajal menjemput tetapi juga karena bercerai akibat tak lagi satu visi dan misi dalam rumah tangga. Dalam perceraian pun keputusan akhir pihak mana yang mendapatkan hak asuh anak menjadi urusan pengadilan. Tetapi baik kehilangan pasangan karena takdir atau perceraian, orangtua cenderung meminta anak untuk menggantikan sosok pasangan yang sudah tak lagi ada dan aktif dalam keluarga. Entah anak perempuan yang diminta untuk menggantikan peran ibu di rumah, atau anak laki-laki yang dipaksa menjadi pemimpin di rumah menggantikan sang ayah.

Perpisahan karena takdir atau karena perceraian bukanlah tanggung jawab anak. Anak tidak boleh menggantikan peran siapa pun karena tugasnya ialah belajar, mencari banyak pengalaman, dan berjuang untuk kehidupannya di masa depan kelak sesuai dengan pilihannya sendiri.

BACA JUGA:

Pentingnya Memahami Perkembangan Sosial Emosional Anak

3. Diminta memilih atau membela salah satu pihak

Tak berpisah pun orangtua tetap berisiko berperilaku emotional incest terhadap anak. Misalnya hubungan suami istri yang sudah mulai retak dan tidak romantis seperti dulu sehingga mulai banyak cekcok ditambah banyak keputusan yang tak lagi satu suara. Mulai lah salah satu orangtua entah ayah atau bunda bertanya kepada anak untuk meminta pembelaan. Perilaku seperti ini sudah termasuk ke kategori emotional incest.

4. Diminta memberikan saran hubungan asmara orangtua

Orangtua berpisah dan akhirnya memiliki kekasih baru. Meskipun kenyamanan sang anak menjadi prioritas orangtua ketika memiliki pasangan baru, alangkah baiknya jika orangtua tak perlu bertanya apalagi meminta saran dari hubungan asmara orangtua yang sedang berlangsung dengan pasangan yang baru. Urungkan niat untuk bertanya meskipun hanya pertanyaan: 'apa kakak suka dengan pacar baru ayah?' atau 'menurut kakak om ini cocok enggak sama bunda?'.

anak
Orangtua membatasi pilihan studi dan karier anak. (foto:Pixabay_StartupStockPhotos)

5. Keutuhan keluarga menjadi tanggung jawab anak

Meminta saran asmara kepada anak saja sudah salah. Apalagi memberikan beban berat seperti menjaga keutuhan keluarga. Tanggung jawab menjaga keutuhan rumah tangga ada di tangan orangtua. Perdebatan di antarorangtua lagi-lagi bukan tanggung jawab anak. Banyak sekali anak yang diminta bertanggung jawab terhadap keharmonisan keluarga hanya karena orangtua tak mampu tetap kompak dan berkomitmen demi kerharmonisan keluarga. Alhasil, anak menjadi samsak emosi dari orangtuanya. (Mar)

BACA JUGA:

Pola Asuh yang Salah Sebabkan Anak Sering Tantrum

#Parenting #Kesehatan Mental
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.

Berita Terkait

Indonesia
2 Juta Anak Alami Gangguan Kesehatan Mental, Kemenkes Buka Layanan healing 119.id Cegah Potensi Bunuh Diri
Kemenkes membuka layanan healing 119.id bagi warga yang mengalami stres, depresi atau memiliki keinginan bunuh diri.
Wisnu Cipto - Kamis, 30 Oktober 2025
2 Juta Anak Alami Gangguan Kesehatan Mental, Kemenkes Buka Layanan healing 119.id Cegah Potensi Bunuh Diri
Indonesia
Hasil Cek Kesehatan Gratis: 2 Juta Anak Indonesia Alami Gangguan Kesehatan Mental
Tercatat, ada sekitar 20 juta rakyat Indonesia didiagnosis mengalami gangguan kesehatan mental dari data pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang dilakukan.
Wisnu Cipto - Kamis, 30 Oktober 2025
Hasil Cek Kesehatan Gratis: 2 Juta Anak Indonesia Alami Gangguan Kesehatan Mental
Dunia
Ibu Negara Prancis Brigitte Macron Disebut Kena Gangguan Kecemasan karena Dituduh sebagai Laki-Laki
Sepuluh terdakwa menyebarkan apa yang oleh jaksa digambarkan sebagai ‘komentar jahat’ mengenai gender dan seksualitas Brigitte.
Dwi Astarini - Kamis, 30 Oktober 2025
  Ibu Negara Prancis Brigitte Macron Disebut Kena Gangguan Kecemasan karena Dituduh sebagai Laki-Laki
Fun
Self-Care Menjadi Ruang Ekspresi dan Refleksi bagi Perempuan, Penting untuk Jaga Kesehatan Mental
Merawat diri tidak lagi sekadar urusan penampilan fisik, tetapi juga menjadi sarana penting untuk menjaga kesehatan mental dan keseimbangan emosional.
Dwi Astarini - Senin, 13 Oktober 2025
Self-Care Menjadi Ruang Ekspresi dan Refleksi bagi Perempuan, Penting untuk Jaga Kesehatan Mental
Lifestyle
The Everyday Escape, 15 Menit Bergerak untuk Tingkatkan Suasana Hati
Hanya dengan 15 menit 9 detik gerakan sederhana setiap hari, partisipan mengalami peningkatan suasana hati 21 persen lebih tinggi jika dibandingkan ikut wellness retreat.
Dwi Astarini - Senin, 13 Oktober 2025
The Everyday Escape, 15 Menit Bergerak untuk Tingkatkan Suasana Hati
Indonesia
Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan
Posyandu Ramah Kesehatan Jiwa diperkuat untuk mewujudkan generasi yang sehat fisik dan mental.
Dwi Astarini - Senin, 06 Oktober 2025
Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan
Lifestyle
Bunda, Coba deh Lavender & Chamomile untuk Tenangkan Bayi Rewel secara Alami
Lavender dan chamomile kerap menjadi pilihan utama dalam praktik mindful parenting.
Dwi Astarini - Minggu, 07 September 2025
Bunda, Coba deh Lavender & Chamomile untuk Tenangkan Bayi Rewel secara Alami
Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Fun
Liburan Bersama Anak di Kolam Renang: Seru, Sehat, dan Penuh Manfaat
Periode libur long weekend di Agustus ini jadi saat yang tepat untuk mengunjungi kolam renang.
Ananda Dimas Prasetya - Minggu, 17 Agustus 2025
Liburan Bersama Anak di Kolam Renang: Seru, Sehat, dan Penuh Manfaat
Indonesia
Tak hanya Melarang Roblox, Pemerintah Dituntut Lakukan Reformasi Literasi Digital untuk Anak-Anak
Perlu diiringi dengan edukasi yang mencakup tiga elemen kunci yakni anak, orangtua, dan tenaga pendidik.
Dwi Astarini - Jumat, 08 Agustus 2025
Tak hanya Melarang Roblox, Pemerintah Dituntut Lakukan Reformasi Literasi Digital untuk Anak-Anak
Bagikan