Mengukur Cogok Uma, Rumah Adat Suku Mentawai


Rumah Panjang Uma suku Mentawai. (Foto/kebudayaan.kemdikbud.go.id)
MUSIM hujan Tiba. Masyarakat Mentawai tampak beramai-ramai keluar rumah. Sebagian mereka pergi ke pantai dan sebagiannya menuju rawa-rawa. Tujuannya satu. Mencari daun rumbia guna mengganti atap rumah adat mereka yang dikenal dengan Uma. Kegiatan itu rutin mereka lakukan.
Uma sendiri memiliki fungsi besar dalam keberlanjutan tradisi Suku Mentawai. Semua cerita tentang kepercayaan dan peradaban Suku Mentawai tersimpan di sana. Makanya, dalam artikel kali ini merahputih.com akan membahas tentang 'Rumah Panjang Uma' fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya.

Suku Mentawai sejatinya memiliki 3 jenis rumah adat di antaranya, Uma, Lalep, dan Rusuk. Dari ketiga rumah adat ini Rumah Panjang Uma lah yang paling populer dan masih bertahan hingga kini. Bangunan dengan luas 20 m x 15 m persegi ini memiliki banyak fungsi bagi Suku Mentawai.
Dalam pembangunan Uma masyarakat Mentawai mengerjakan dengan bergontongroyong. Awalnya, pondasi Umah ditanamkan ke dalam tanah sekitar 2 meter. Setelah itu mereka baru membentuk bangunannya. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu Uma lebih kurang satu bulan.
Saat uma selesai dibangun, maka uma akan dipestakan. Pesta tersebut bermakna sebagai ungkapan rasa syukur, kegembiraan, keselamatan, dan kesejahteraan keluarga anggota uma. Dan ketika pesta selesai, barulah uma diisi dengan barang-barang seperti gendang, tombak, lambang uma, tengkorak hasil buruan, dan lain sebagainya.
"Selain tempat menginap sehari-hari, Uma juga berfungsi sebagai tempat upacara, tari-tarian, dan pertemuan umum. Orang Mentawai juga memiliki kebiasaan menyimpan benda-benda keramatdibagian depan Uma," tulis M. Junus Melalatoa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z.

Bentuk uma mirip dengan bentuk rumah panggung, yang kolongnya kerap kali digunakan untuk tempat beternak hewan. Uma bisa dibagi menjadi dua jenis, yakni bagian depan dan bagian dalam. Bagian depan mencangkup tempat untuk mencuci kaki dan serambi yang terbuka.
Bagian ini juga berfungsi untuk berkumpul dan bercengkrama bagi anggota keluarga, musyawarah saat terjadi konflik, dan para tamu untuk bersinggah. Pada malam hari, tempat ini merupakan tempat tidur bagi pria dari anggota keluarga.
Bagian dalam mencangkup tempat tidur untuk wanita dari anggota keluarga dan tempat memasak. Tempat memasak berupa tungku perapian. Di bagian dalam jugalah tempat diadakannya ritual tari-tarian adat khas suku Mentawai.
Pangan di Sekitar Uma
Uma memiliki keunikan sendiri dalam desainnya. Bagian bawah rumah biasanya digunakan untuk berternak dan yang sering diternakkan masyarakat Mentawai adalah kepiting merah. Makanan ini juga menjadi khas bagi daerah tersebut.
Selain di bawah bangunan terdapat mangkanan, di belakang rumah orang Mentawai juga menanam batang sagu. Sagu juga merupakan makanan pokok suku mentawai. (*)
Bagikan
Berita Terkait
Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Tradisi Murok Jerami Desa Namang Resmi Diakui Jadi Kekayaan Intelektual Khas Indonesia

Lebaran Sapi, Tradisi Unik Warga Lereng Merapi Boyolali Rayakan Hewan Ternak

Filosofi Tradisi Kutupatan Jejak Peninggalan Sunan Kalijaga

4 Tips Prank April Mop Sukses Mengundang Gelak Tawa

Tradisi Sungkeman sebelum Puasa Ramadan di Indonesia, Simak Beberapa Manfaatnya

Mencari Jelmaan Putri lewat Tradisi Bau Nyale, Budaya Khas Suku Sasak

Merawat Empati Lewat Tradisi Begawe Nyiwak khas NTB

Mengenal Tradisi Belis di NTT, Mahar yang Harus Disiapkan untuk Meminang Perempuan

Gotong Toapekong, Tradisi Cap Gomeh khas Banten
