Mekotekan: Warisan Budaya Bali Setelah Kuningan, Simbol Keberanian dan Tolak Bala

Tradisi Mekotekan (badungkab.go.id)
Merahputih.com - Perayaan Hari Raya Kuningan bagi umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, memiliki tradisi unik bernama Mekotekan. Tradisi yang dilakukan setelah Hari Raya Kuningan ini dipercaya oleh masyarakat Hindu Bali di Desa Munggu, Kabupaten Badung, sebagai ritual tolak bala.
Mekotekan bertujuan untuk menjauhkan hal-hal buruk dan memohon keselamatan kepada Sang Dewa. Praktik keagamaan ini telah diwariskan secara turun temurun sejak masa kerajaan di Bali. Dahulu, Mekotekan, atau yang juga dikenal sebagai ngerebek, diadakan untuk menyambut kedatangan prajurit Kerajaan Mengwi yang meraih kemenangan atas Kerajaan Blambangan di Jawa. Tradisi ini kemudian dilanjutkan hingga saat ini.
Menurut penanggalan Hindu, Mekotekan dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap 210 hari, yang biasanya jatuh pada hari Sabtu Kliwon Kuningan atau setelah Hari Raya Galungan.
Baca juga:
Jajal Suasana Hari Raya Galungan di Bali, Airbnb Kasih Rekomendasi Akomodasi Nih
Awalnya, tradisi Mekotekan menggunakan sebilah besi yang difungsikan sebagai tombak, melambangkan semangat juang dalam peperangan. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi penyesuaian untuk menjaga keselamatan masyarakat. Tombak besi diganti dengan tongkat kayu pulet yang telah dikupas kulitnya dan memiliki panjang antara 2 hingga 3,5 meter. Kumpulan tongkat kayu ini kemudian disusun menyerupai piramida.
Tradisi yang menjadi penanda penting perayaan ini mewajibkan pesertanya mengenakan pakaian adat madya, yaitu kancut dan udeng batik.
Sebelum memulai Mekotekan, para peserta berkumpul di Pura Dalem Munggu untuk melakukan persembahyangan dan mengucapkan rasa syukur atas hasil perkebunan. Setelah bersembahyang, mereka melakukan pawai menuju sumber air di kampung Munggu.
Baca juga:
Festival Hindu di Bihar India Kembali Makan Korban, 37 Anak Tewas Tenggelam
Upacara ini biasanya diikuti oleh ribuan peserta, yang terdiri dari perwakilan 15 banjar dengan rentang usia 12 hingga 60 tahun. Saat tradisi Mekotekan dimulai, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok beranggotakan sekitar 50 orang.
Setelah pembagian kelompok selesai, tiba saatnya salah satu peserta yang berani menaiki tumpukan tongkat kayu yang telah membentuk piramida.
Sesampainya di puncak, peserta tersebut akan berdiri sambil memberikan komando semangat kepada kelompoknya. Tak hanya itu, bagian atas 'tombak' yang dinaiki akan diadu dengan 'tombak' dari kelompok lain, menjadikan tradisi ini cukup ekstrem dan memerlukan keberanian yang besar bagi sang komandan. (Tka)
Bagikan
Tika Ayu
Berita Terkait
15 Tahun Batik Wistara Konsisten Berdayakan Disabilitas Lewat Batik Khas Surabaya

Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Tak Dapat Undang Rayakan HUT RI di Istana, Warga Padati Monas Saksikan Kirab Bendera Pusaka

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan

Fadli Zon: Kongres Perempuan 1928 Justru Diperkuat dalam Sejarah Indonesia
