Massiara, Damainya Tradisi Orang Bugis Kala Ramadan


Massiara, sebuah tradisi menjaga damai Masyarakat Bugis (Foto: pixabay/jarmoluk)
ZIARAH jadi tradisi masyarakat Indonesia menyambut ramadan. Penziarah akan mengajak sanak saudara menziarahi makam keluarganya, menabur bunga, air mawar, lalu memanjatkan doa. Ziarah jelang ramadan di masyarakat Bugis disebut Massiara Kuburru.
Selain mengunjungi keluarga dan kerabat masih hidup, jelang ramadan, masyakarat Bugis acap Massiara Kuburru untuk memanjatkan doa sekaligus menyambung tali silaturahmi pada nenek moyang.
Baca Juga:
Tradisi turun-temurun tersebut dilakukan bagi penziarah agar hati, jiwa, dan raganya merasa damai dan siap melaksanakan ibadah puasa. Selama berpuasa, kedamaian jiwa menjadi faktor penting agar ibadah khusyuk.
Setelah berpuasa selama sebulan, umat muslim tiba pada hari kemenangan. Di hari Lebaran tradisi Massiara pun kembali dilaksanakan masyarakat Bugis, tetapi bukan menziarahi kubur, melainkan mengujungi sanak keluarga. Saat massiara, biasanya tamu akan dijamu untuk makan bersama oleh tuan rumah.

Setiap rumah wajib mappanre (memberi) makan pada tamu. Sejumlah orang memaknai massiara tidak hanya mempererat silaturahmi dan bermaafan di Hari Raya Idul Fitri, melainkan pula momentum menghilangkan lapar minimal sehari dalam setahun.
Hal tersebut lantaran setiap rumah terbuka untuk saling mengunjungi dan tiap bertamu dijamin dengan makanan khas Hari Raya Idul Fitri. Biasanya disambut makanan khas Bugis-Makassar burasa, olahan daging atau ayam dan kue kering.
Namun, kini Massiara bukan hanya perihal berkunjung dan makan, tradisi ini juga merupakan upaya menyambung kekeluargaan dan tata pergaulan dengan tetangga.
Di masa pandemi, banyak orang tak lagi bisa berlebaran dengan tatap muka dan bertemu orang banyak. Apalagi di masa awal pandemi hanya bisa berjumpa lewat layar ponsel.
Baca Juga:

Maka, Massiara jadi momentum paling dirindukan masyarakat Bugis pada perayaan Lebaran tahun ini. Tak sekadar persoalan menyantap hidangan spesial di hari raya, Massiara mempunyai makna tertentu dari sisi psikologi. Makan bersama di hari spesial mendekatkan satu sama lain, bahkan bisa menyebarkan semangat perdamaian.
Hadirnya interaksi sosial positif bisa mendorong perilaku damai antarindividu. Bahkan, dalam hubungan masyarakat, dapat melahirkan kekompakan guna memelihara lingkungan agar senantiasa tenteram, aman, dan damai.
Massiara menuntun tiap-tiap orang Bugis kembali suci hatinya setelah melalui tempaan ketakwaan di bulan suci Ramadan, sekaligus ajang merawat tali silaturahmi, meminta maaf, mengakui kesalahan, dan memperbaiki kesalahan. (Ryn)
Baca Juga:
Tidak Menghadiri Pernikahan Mantan Bukti Kamu Berhasil Mendamaikan Ego Pribadi
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan

Fadli Zon: Kongres Perempuan 1928 Justru Diperkuat dalam Sejarah Indonesia

5 Museum Jakarta Buka Sampai Malam, Pengunjung Melonjak Hingga Ribuan

Mekotekan: Warisan Budaya Bali Setelah Kuningan, Simbol Keberanian dan Tolak Bala
