Masalah dan Risiko Bisnis yang Dihadapi UMKM


Masalah utama UMKM adalah modal terbatas dan risiko gulung tikar saat tidak mendapatkan modal tambahan. (Foto: Freepik/Jcomp)
DATA Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI menyebut jumlah UMKM mencapai 60 juta. Jumlah tersebut masih akan terus bertambah secara masif seiring berjalannya waktu.
UMKM punya tiga peran utama terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, sebagai sarana pemerataan tingkat perekonomian rakyat kecil. UMKM bahkan menjangkau daerah pelosok sehingga masyarakat tidak perlu ke kota untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Kedua, UMKM berkontribusi sebagai sarana mengentaskan kemiskinan sebab angka penyerapan tenaga kerja terhitung tinggi. Ketiga, UMKM menjadi salah satu pemasukan devisa bagi negara sebab pasarnya tidak hanya menjangkau nasional melainkan hingga internasional.
UMKM memang menjanjikan, tapi terdapat permasalahan dan risiko yang berpotensi dihadapi oleh para pelaku UMKM.
1. Modal dan Risiko Keuangan
Permasalahan paling sering ditemui adalah modal yang terbatas. Para pelaku UMKM biasanya memiliki banyak ide bisnis dalam mengembangkan usahanya, tapi harus terhenti karena tidak adanya modal tambahan.
Masalah kesulitan mendapatkan modal oleh para pelaku UMKM karena banyaknya persyaratan yang tidak bisa dipenuhi. Survei Pricewaterhouse Coopers mencatat 74% UMKM di Indonesia belum mendapatkan akses pembiayaan.
Namun ternyata kini telah ada solusi akan kendala tersebut. Teknologi finansial (fintech) hadir melalui sistem urunan dana atau yang dikenal dengan istilah crowdfunding. Cara pendanaan ini menjadi tantangan baru bagi pelaku UMKM dalam meyakinkan khalayak umum untuk mendanai usaha mereka.
Walaupun sudah ada solusi terkait dengan modal UMKM ini, risiko keuangan menjadi masalah berikutnya yang dihadapi oleh UMKM itu sendiri. Risiko ini berpotensi merugikan keseluruhan usaha.
Tak sedikit pelaku UMKM yang sangat berambisi untuk mengembangkan usahanya sehingga mengambil strategi bisnis dengan skala yang terlalu besar tanpa memperhitungkan kemampuan bisnisnya atau keuangannya. Hal ini bisa membuat kerugian yang besar bagi UMKM.
Baca juga:

2. Perijinan dan Risiko Hukum
Walaupun usaha yang dimiliki berskala mikro, kecil, atau menengah, tidak menjadikan pelaku UMKM terbebas dari peraturan atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah setempat. Tidak adanya izin usaha resmi mendatangkan efek domino bagi pelaku UMKM.
Efek domino ini akan menghambat laju usaha mereka sendiri. Salah satunya saat ingin mengajukan pinjaman modal. Sehingga sulit bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan usaha mereka menjadi lebih besar lagi.
Sebaiknya para pelaku UMKM sudah mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang diterbitkan berdasarkan domisili usaha. Keberadaan SIUP penting dimiliki oleh pelaku UMKM agar usaha yang dijalankan memiliki bukti yang sah dari pemerintah.
Perihal SIUP ini telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/2009 tentang Perubahan Atas Permendag No. 36/2007 mengenai Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.
Umumnya jika tidak memiliki izin maka akan menghadapi risiko hukum. Misalnya saja peraturan perpajakan atau peraturan terkait operasional bisnis. Risiko ini memberikan dampak yang signifikan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah.
Selain itu, pelaku usaha juga tidak dapat dengan mudah menempelkan label halal pada produk yang dipasarkan. Logo halal itu hanya berlaku untuk pelaku UMKM yang sudah memiliki sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Baca juga: UMKM Perlu Melek Online untuk Tingkatkan Pangsa Pasar

3. Sadar Pajak dan Risiko Tidak Taat Pajak
Regulasi lain yang kerap diabaikan oleh para pelaku UMKM adalah soal membayar pajak. Dari sekitar 60 juta pelaku UMKM di Indonesia, hanya 2,5% saja atau sekitar 1,5 juta pelaku UMKM yang melaporkan pajaknya.
Kendala yang terjadi yaitu tidak semua pelaku UMKM paham akan cara menghitung pajak yang menjadi kewajiban mereka.
Efek terburuk yang bisa menimpa pelaku UMKM adalah usaha mereka bisa mengalami gulung tikar karena modal yang ada habis dipakai untuk membayar sanksi pajak yang telat dibayarkan.
Pemerintah telah menurunkan tarif PPh Final atau yang sering disebut sebagai pajak UMKM dari 1% menjadi 0,5% yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Selain itu, yang menjadi wajib pajak adalah mereka dengan usaha yang memiliki omzet sampai dengan Rp 4,8 miliar dalam satu tahun. Kebijakan penurunan tarif ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih baik lagi.
Cara menghitung pajak untuk UMKM ini dapat menerapkan rumus sederhananya. Omzet per bulan x tarif PPh Final. Kemudian PPh Final dibayarkan paling lambat pada tanggal 15 setiap bulannya.
Untuk menghindari sanksi keterlambatan pembayaran pajak PPh Final, kamu bisa melakukannya secara otomatis melalui aplikasi PPh Final yang dimiliki oleh OnlinePajak. (dgs)
Baca juga:
Pelaku UMKM Didorong Miliki Badan Hukum Perseroan Perorangan
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Hijack Sandals Kokohkan Posisi dengan Rilisan Anyar

UMKM Butuh Dukungan Teknologi dan Legalitas

Halal Hub Menjadi Faktor Penting dalam UMKM

Keterlibatan Dunia Pendidikan dalam Upaya Pengembangan UMKM

Festival Kuliner Multietnis, Sajian 11 Suku Bangsa

Superbrands Beri Penghargaan ke 41 Pemilik Merek di Indonesia
Peranan Perempuan dalam Perkembangan UMKM di Tanah Air

UMKM Kuliner Sangat Penting Mengurus Sertifikasi Halal

Desi Indarti Dukung UMKM Indonesia Lewat Bisnis F&B Berbasis Teknologi

Pentingnya Mendaftar Merek Dagang untuk UMKM
