Mahfud MD Nilai MK Inkonsisten dan Memicu Kegaduhan Politik di Putusan Pemisahan Pemilu dan Pilkada

Mahfud MD saat memberikan keterangan di kawasan Senen, Jakarta, Rabu (3/4/2024). (ANTARA/Rio Feisal)
MerahPutih.com - Putusan Mahkamah Konstitusi dalam amarnya memerintahkan pemilu DPRD dan kepala/wakil kepala daerah 2 atau 2,5 tahun digelar sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden mulai tahun 2029.
Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menyarankan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal, meski menimbulkan kerumitan baru.
Putusan MK, termasuk Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, bersifat final dan mengikat sehingga tetap harus dilaksanakan walaupun rumit.
“Putusan itu tidak boleh tidak, harus dilaksanakan, putusan MK ini menurut saya harus diterima meskipun menimbulkan kerumitan hukum baru,” kata Mahfud yang juga mantan Ketua MK itu.
Baca juga:
PDIP Belum Ambil Sikap Final soal Putusan MK terkait Pemisahan Pemilu
Ia menegaskan, dengan adanya putusan itu, imbuh dia, jabatan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia akan mengalami kekosongan. Walaupun dapat diangkat penjabat kepala daerah, hak demokrasi dikhawatirkan terampas karena masa jeda bisa hingga 2,5 tahun.
"MK telah membuat kerumitan hukum, saya melihatnya juga MK terlalu masuk ke open legal policy, seharusnya hal itu tidak diatur oleh MK, masalah jadwal masalah apa, mestinya urusan pembentuk undang-undang. Apakah ada pelanggaran terhadap open legal policy, banyak. Tapi kalau betul-betul melanggar UUD, kalau ini, apa, tidak ada pelanggaran hukumnya,” ucapnya.
Mahfud menyoroti konstruksi hukum jadwal pemilihan kepala daerah yang sudah berkali-kali diuji ke Mahkamah.
Pada 2004, sudah ada Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa pemilu yang demokratis yang berlaku bagi pilkada bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
“Dengan adanya putusan MK bisa liar loh ini, bisa muncul lagi, ‘Sudah, kalau begitu kita kembali ke DPRD saja, wong itu dulu sudah didukung dan sudah berjalan.’ Bisa karena kata MK itu bisa langsung atau tidak langsung itu sama konstitusionalnya. Jangan-jangan bisa liar ke situ nanti,” katanya.
Sementara itu, mengenai jenis-jenis pemilihan yang konstitusional, Mahmud menyebut MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu anggota lembaga perwakilan, yakni DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan secara serentak mulai 2019.
Namun, melalui putusan terbarunya, Mahmud menilai MK inkonsisten, memasuki ranah kebijakan hukum terbuka, dan berpotensi memicu kegaduhan politik.
"Tapi kita tetap harus bersikap konstitusionalis. Putusan MK ini harus dilaksanakan, dalam arti harus segera dibuat undang-undang, apa pun ujung dari undang-undang itu, apakah ke yang semula Putusan Nomor 72 atau ke ujung yang lain, itu perdebatan di lapangan politik,” ujarnya.
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Politik Thailand Kembali Bergejolak, PM Sementara Ajukan Pembubaran Parlemen dan Pemilu Baru

Tutup Rakernas, Surya Paloh Targetkan NasDem Masuk 3 Besar Pemilu 2029

NasDem Siap Tantang Partai Besar, Punya Strategi Khusus Rebut Tiga Besar Pemilu 2029

DPR Mulai Bahas Pilihan Alternatif Model Pilkada, Usulan PKB Gubernur Ditunjuk Presiden Belum Ada Yang Nolak

Junta Kembali Tetapkan Darurat Militer Jelang Pemilu Myanmar

Legislator Ungkap Keuntungan dari Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Partai Tengah Lagi Bikin Strategi Simulasi Pemilu dan Pilkada

Partai Buruh Ajukan Uji Materi Minta Ambang Batas Parlemen Dihapus Pada Pemilu 2029

4 Tahun Sebelum Pemilu, Golkar Jateng Ingin Rampungkan Seluruh Kepengurusan

Golkar Nilai Putusan MK soal Pemilu Bisa Jadi Bumerang dan Guncang Dunia Politik Indonesia
