KPK Jelaskan Mudahnya Bekuk Kepala Daerah yang Terlibat Kasus Korupsi
Ketua KPK Agus Rahardjo (Antara Foto)
MerahPutih.Com - Operasi tangkap tangan terhadap sejumlah kepala yang tersangkut kasus korupsi gencar dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak Januari hingga Oktober 2018 tercatat sudah 17 kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Bagaimana KPK dengan mudah menangkap para pelaku rasuah itu?
Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan bahwa lembaganya sangat mudah menebak sebuah daerah terjadi korupsi atau tidak lantaran modusnya yang gampang terbaca.
"Sebagai contoh, masalah pengadaan barang, pemenang lelang maupun mutasi jabatan. Karena itu, harus benar-benar hati-hati dalam menggunakan anggaran negara jika tidak ingin berurusan dengan hukum," kata Agus Rahardjo pada acara 'Roadshow' di Kota Pekalongan, Jumat (5/10).
Namun, kata dia lagi, KPK tidak bisa bertindak tanpa mendapatkan dua barang bukti yang cukup, sehingga peran serta masyarakat sangat dibutuhkan guna membersihkan kasus korupsi di negeri ini.
"Kami baru saja kembali mengungkap korupsi yang terjadi di Ambon dan Pasuruan (Jawa Timur), semoga tidak ada lagi kepala daerah yang ditangkap KPK," kata Agus.
Menurut dia, sebenarnya KPK bukan hanya melakukan penindakan semata namun juga mensosialisasikan terkait antikorupsi.
"Bahkan anggaran kami terbanyak adalah untuk melakukan sosialisasi dari pada penindakan. Yang paling berbahaya lagi adalah teman dekat dari seorang kepala daerah karena kebanyakan yang melaporkan (kasus korupsi) adalah orang-orang di sekitar kepala daerah," katanya pula.
Agus Rahardjo sebagaimana dilansir Antara mengatakan sebanyak 7.000 laporan terkait kasus korupsi antara lain berasal dari istri wali kota, sekretaris daerah (sekda) hingga kepala Bappeda. Artinya, pelaporan biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat kepala daerah.
"Kemudian setelah kami pelajari dan melakukan pantauan dari laporan tersebut, terjadilah yang dinamakan operasi tangkap tangan," katanya lagi.
Agus Rahardjo menyampaikan negara menyediakan hadiah uang bagi warga yang melapor atas tindakan korupsi senilai 0,02 persen dari total jumlah kerugian negara.
Ketentuan itu, menurutnya, diatur dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksana Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Uang hadiah itu bisa diperoleh setelah proses hukum kasus yang dilaporkan memiliki kekuatan hukum tetap dan kerugian negara sudah diperoleh kembali. Sebenarnya aturan hadiah sudah ada sejak lama, namun pemerintah masih harus secara gigih menyebarluaskan pada masyarakat supaya aktif berpartisasi dalam pemberantasan korupsi dengan menghimpun informasi yang valid disertai bukti pendukung yang kuat," tandas Agus Rahardjo.(*)
Baca berita menarik lainnya dalam artikel: Rupiah Tembus Rp15.183 per Dolar AS, Darmin Cemaskan Dampak Perang Dagang
Bagikan
Berita Terkait
KPK Lakukan 11 OTT, Tetapkan 118 Tersangka, dan Pulihkan Aset Negara Rp 1,53 Triliun Sepanjang 2025, Tertinggi dalam 5 Tahun Terakhir
KPK Bawa Duit Rp 400 Juta Dari Rumah Dinas Bupati Indragiri Hulu Riau, Ada Dolar Singapura
Kejagung Pecat Kajari Huku Sungai Utara dan 3 Anak Buahnya Setelah Terjaring OTT KPK
Sesalkan OTT Jaksa, Komisi III DPR Minta Akar Masalah Penegakan Hukum Diusut
45 Jaksa Ditangkap Diduga Korupsi, ICW Soroti Kinerja Jaksa Agung
OTT Beruntun KPK Disebut Cuma Kelas Kabupaten, MAKI: Mestinya Tangkap Ikan Besar, Bukan Ikan Kecil
KPK Beberkan Alasan Penyegelan Rumah Kajari Kabupaten Bekasi
2 Jaksa HSU Diduga Terima Uang Rp 1,13 Miliar dari Kasus Pemerasan
Kabur Saat OTT, KPK Buru Kasi Datun Kejari Hulu Sungai Utara
KPK Tetapkan Kajari Hulu Sungai Utara Tersangka Pemerasan Rp 1,5 Miliar