Indikator Resesi Ekonomi AS Makin Kuat, Begini Pengaruh ke Indonesia


Pecahan seratus ribu rupiah di atas uang dolar AS, pada pusat uang tunai sebuah bank di Jakarta. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
MerahPutih.com - Bank Sentral Amerika atau The Fed pada Rabu (31/7) mempertahankan suku bunga pada level tertinggi dalam 22 tahun, yaitu 5,25 persen hingga 5,5 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mewaspadai risiko yang akan dihadapi Indonesia apabila Amerika Serikat (AS) mengalami resesi ekonomi.
Resesi ekonomi di AS dapat memicu keluarnya aliran modal dari pasar domestik Indonesia ke AS alias capital flight. Hal tersebut juga menimbang tingkat suku bunga domestik yang masih lebih tinggi dari laju inflasi, saat ini Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga di level 6,25 persen.
"Kemudian yang terkait dengan AS, tentu diterus monitor. Karena tentu kalau kita lihat tingkat suku bunga kita dibandingkan inflasi gap-nya agak tinggi," kata Airlangga.
Baca juga:
Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Dorong Pertumbuhan Ekonomi di Triwulan II 2024
Airlangga berharap Bank Sentral AS atau The Fed akan menurunkan suku bunga acuan pada kuartal IV tahun ini.
"Tentu berharap bahwa tingkat suku bunga AS di kuartal IV bisa turun walaupun belum ada yang menjamin," ujarnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memaparkan beberapa dampak tekanan ekonomi di Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia. Diantaranya peningkatan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
"Kalau ada indikator resesi yang semakin menguat, ketidakjelasan sikap dari bank sentral Amerika, (maka para investor bisa beralih) ke safe haven-nya (aset yang lebih aman) bisa beragam, bisa emas, bisa kemudian dolar Amerika dalam jangka menengah,” ujarnya.
Implikasi lainnya ialah cadangan devisa Indonesia bisa menurun akibat pelemahan permintaan ekspor ke AS. Kendati memang ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar ke China, tetapi bahan baku atau barang setengah jadi yang dikirim ke China juga akan diolah dan berakhir di pasar AS.
"Artinya, apabila permintaan domestik AS melemah, tentu memberikan efek terhadap kinerja ekspor Tanah Air," ungkapnya.
Efek selanjutnya adalah suku bunga AS yang masih tinggi bakal mencegah dana asing keluar, terutama dari pasar surat berharga.
Baca juga:
Jokowi Sebut Inggris dan Jepang Masuk Jurang Resesi, Bagaimana dengan Indonesia?
"Jika bank sentral AS melakukan pemangkasan 25 basis points (bps), itu belum tentu diikuti pemotongan lebih besar ke depannya. Dalam arti lain, suku bunga yang tinggi ke depan masih terjadi,. tetapi diperlukan untuk menjaga nilai tukar rupiah atau menahan aliran modal keluar (capital outflow) tetap di dalam negeri," katanya dikutip Antara. (*)
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Biar Rakyat Senang Saat Belanja, Mendagri Perintahkan Daerah Tahan Inflasi Maksimal di 3,5 Persen

Harga Beras Berikan Kontribusi Inflasi Terbesar Kelompok Pangan Setelah Bawang Merah

Angka Kemiskinan Jakarta Year On Year Turun, Gubernur Klaim Berhasil Kendalikan Inflasi

Strategi Sukses Jakarta Kendalikan Inflasi Jadi Kunci Stabilitas Harga Pangan dan Distribusi Efisien

Dalam 20 Bulan Terakhir Harga Emas Alami Lonjakan Tertinggi di April 2025

IMF Ramalkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Anjlok, Istana Optimis Masih akan Baik-Baik Saja

Inflasi Jakarta 2 Persen di Maret 2025, Tarif Listrik Jadi Penyumbang Terbesar

Pemerintah Didesak Percepat Stimulus untuk Meredam Dampak Gejolak Ekonomi

Pemerintah Bantah Penurunan Daya Beli Akibatkan Deflasi, Ini Karena Intervensi Pemerintah

Gubernur Jakarta Pramono Anung Optimistis Jaga Inflasi dan Stok Pangan Selama Puasa hingga Lebaran
