Gubernur BI Boleh Politisi, Pengamat: Kondisi Moneter Bisa Jadi Tak Stabil
Logo Bank Indonesia. ANTARA/Dokumentasi BI
MerahPutih.com - Wacana politisi bisa menjadi dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dikhawatirkan dapat merusak tatanan sistem moneter tanah air.
Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, masuknya kader partai di lembaga keuangan BI itu, tak menutup kemungkinan akan ada campur tangan dari partainya.
"Kondisi moneter bisa menjadi tidak stabil karena sistem moneter dan sistem pembayaran bisa saja dimodifikasi sesuai keinginan kepentingan kelompok politik yang dititipkan pada gubernur BI yang mewakili kelompok politik tersebut," kata Rissalwan saat dikonfirmasi Merahputih.com, Kamis (29/9).
Baca Juga:
Pemerintah Klaim Ekonomi Indonesia Paling Kuat Dibandingkan Negara Lain di Dunia
Memang sejauh ini, kata dia, hampir tidak ada jabatan publik yang lepas dari pengaruh elite politik yang berkuasa. Kendati demikian, alangkah baiknya jabatan Gubernur BI tak diisi oleh politisi dan mestinya dijabat oleh orang profesional. Sehingga bisa lepas dari kepentingan politik kelompok tertentu.
"Namun tentunya secara administratif afiliasi politik Gubernur BI dengan kelompok politik tertentu sebaiknya diminimalkan," urainya.
"Gubernur BI sebaiknya profesional yang sebisa mungkin lepas dari kepentingan politik kelompok tertentu," lanjutnya.
Menurut dia, aturan baru ini sangat berbahaya karena bisa mengintervensi berbagai kebijakan BI dengan adanya bisikan parpol, termasuk keputusan kebijakan moneter hingga tugas dalam pencetakan uang.
Kebijakan itu pula bisa memengaruhi kepercayaan dunia internasional terhadap BI. Padahal, sejauh ini, BI mempunyai citra yang sangat baik di dunia internasional dengan berbagai kebijakannya yang berjalan baik.
Maka dari itu Gubernur BI harus diisi orang profesional bukan dari kalangan politisi, untuk menjunjung tinggi nilai independensi.
"Hal ini diperlukan agar national financial management tidak perlu terpengaruh oleh suksesi politik seperti pilpres dan pileg," pungkasnya.
Baca Juga:
Indonesia Harus Tunjukkan Kontribusi Nyata G20 pada Pemulihan Ekonomi Dunia
Seperti diketahui, DPR telah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) alias Omnibus Law Keuangan inisiatif Komisi XI untuk dilanjutkan menjadi RUU usulan DPR RI.
Dengan adanya Omnibus Law Keuangan ini, mandat Bank Indonesia (BI) akan ditambah. Bukan hanya memelihara stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan, BI juga harus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, dalam draf RUU PPSK tertanggal 22 September 2022 beberapa aturan diubah dan ditambah. Salah satunya adalah mengenai syarat anggota Dewan Gubernur BI.
DPR memutuskan untuk menghapus Pasal 47 huruf C dari UU BI sebelumnya di dalam RUU PPSK. Pasal ini adalah substansi mengenai BI terkait pelarangan anggota Dewan Gubernur BI menjadi pengurus atau anggota partai politik.
Dihapusnya pasal tersebut, sumber daya manusia dari petinggi Gubernur BI boleh berasal dari kalangan politisi. (Asp)
Baca Juga:
Kepala Daerah dari PDIP Diminta Lahirkan Terobosan Kebijakan Mendorong Ekonomi Rakyat
Bagikan
Asropih
Berita Terkait
Cadangan Devisa Indonesia Cukup Buat 6 Bulan Ekspor
Warga Makin Mudah Lakukan Pembayaran Digital, Transfer Capai Rp 25 Kuadriliun
Target RUU Redenominasi Rupiah Rampung 2027, BI Tegaskan Butuh Persiapan Matang
Surat Utang Global Bikin Cadangan Devisa Meningkat
Banyak yang Belum Tahu, Ingat Transaksi QRIS di Bawah Rp 500 Ribu Gratis Biaya Admin
Ekspor Dinilai Bagus, Tapi Ekonomi Indonesia Hanya Tumbuh 5,5 Persen
Legislator NasDem Rajiv Mangkir dari Panggilan KPK, Pemeriksaan Bakal Dijadwalkan Ulang
Ramai Bantahan Jumlah Dana Pemda Mengendap, Menkeu Purbaya Lempar Tanggung Jawab ke BI
Bantah APBD Jabar Parkir di Bank, Dedi Mulyadi Pegang Bukti Menkeu Pakai Data Lama dari BI
BI Tahan Suku Bunga Acuan, Perang Tarif AS Bikin Ekonomi Dunia Melemah