Ekonom Sebut Indonesia Belum Berada di Situasi Krisis Ekonomi, Ingat Risiko Burden Sharing Bisa Sebabkan Hyperinflasi seperti Era Soekarno


Logo Bank Indonesia di pintu gerbang Kantor Pusat BI di Jalan Thamrin Jakarta. (ANTARA/BI Dokumentasi/pri)
MerahPutih.com - Langkah Bank Indonesia (BI)- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan burden sharing dengan membeli surat berharga negara (SBN) mendapatkan sorotan tajam dari ekonom Gede Sandra.
Menurut Gede, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan tersebut. Ia menilai, burden sharing sebaiknya tidak dilakukan karena berisiko tinggi dan hanya relevan saat terjadi krisis ekonomi.
“Kalau saya melihat pemerintah masih banyak cara yang lebih aman untuk mengatasi krisis fiskal seperti reconditioning surat utang sehingga beban bunganya bisa berkurang ketimbang mengambil jalan yang sangat berisiko seperti burden sharing di saat tidak ada krisis ekonomi,” jelas Gede kepada awak media di Jakarta, Sabtu (6/9).
Gede menjelaskan, burden sharing atau quantitative easing pada prinsipnya membuat bank sentral mencetak uang untuk membeli surat utang pemerintah. Namun, ia menegaskan, saat ini Indonesia belum berada dalam situasi krisis ekonomi.
Baca juga:
Celios Desak Reset Ekonomi Indonesia, Copot Menkeu Sampai Pemberian Subsidi Tunai ke Rakyat
“Pemerintah sendiri yang umumkan pertumbuhan ekonomi masih tinggi di 5 persen. Sementara syarat krisis itu pertumbuhan ekonomi negatif dua kuartal berturut-turut,” jelasnya.
Meski begitu, Gede mengakui Indonesia tengah menghadapi krisis fiskal akibat tingginya utang dan bunga pemerintah yang membebani anggaran. Kondisi ini membuat pemerintah melakukan efisiensi, baik di pusat maupun daerah, yang justru berimbas pada potensi krisis politik.
Lebih jauh, Gede khawatir kebijakan mencetak uang melalui burden sharing dapat mengulang pengalaman kelam pada masa pemerintahan Presiden pertama RI, Soekarno.
“Risiko terbesarnya bila melakukan kebijakan moneter mencetak uang yang sebenarnya pernah dialami Indonesia di era Soekarno. Hasilnya hyper inflation (inflasi di atas 100%),” pungkasnya. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Ekonom Sebut Indonesia Belum Berada di Situasi Krisis Ekonomi, Ingat Risiko Burden Sharing Bisa Sebabkan Hyperinflasi seperti Era Soekarno

Arif Budimanta Seorang Ekonom, Aktivis Muhammadiyah dan Politikus PDIP Meninggal

Omzet Mal Anjlok Imbas Demo di Jakarta, Pemprov DKI Segera Lakukan Langkah ini

Langkah Konkret Yang Bisa Diambil Pemerintah Saat Rakyat Demo, Salah Satunya Turunkan Pajak Jadi 8 Persen

Ekonomi Indonesia Diklaim di Jalur yang Benar, Menko Airlangga Minta Pengusaha dan Investor tak Panik

DPR-Pemerintah Sepakati Asumsi RAPBN 2026, Suku Bunga dan Rupiah Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi?

Ekspansi Belanja Pemerintah Bakal Bikin Ekonomi Membaik di Semester II 2025

BI Pangkas Suku Bunga Jadi 5 Persen, Rupiah Sulit Untuk Turun ke Rp 16.000 per Dollar AS

Prabowo Berencana Tarik Utang Rp 781,87 Triliun di 2026, Jadi yang Tertinggi setelah Pandemi

Bank Indonesia Ungkap Fakta Mengejutkan di Balik Utang Luar Negeri yang Tumbuh Melambat
