DPR Enggak 'Gentlemen' Tolak Perppu COVID-19, Ambyar Negara Ini!

Sampel pengujian virus corona. ANTARA/Shutterstock/am.
Merahputih.com - Pengamat Politik Ujang Komaruddin menilai, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang penanganan virus Corona atau COVID-19 harus menjadi pertaruhan bagi anggota DPR untuk menolaknya.
Ujang menyebut, Perppu tersebut mengindikasikan pemerintah ingin melegetimasi kebijakan-kebijakannya dan ingin melindungi kepentingan-kepentingannya melalui terbitnya Perppu.
"DPR harus gentlemen untuk menolak Perppu tersebut. Jika tak berani menolak. Maka akan ambyar negara ini," kata Ujang kepada wartawan di Jakarta, Senin (20/4).
Baca Juga:
Telegram Kapolri Soal Penegakan Hukum COVID-19 Dianggap Memperburuk Suasana
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), ini menyebut wajar jika ada yang menolak Perppu tersebut. Karena selain dianggap bertentangan dan bertabrakan dengan konstitusi, Perppu juga diduga melindungi mereka yang korupsi atas nama kebijakan atau korupsi kebijakan.
Ujang menyebut, ini tentu tak bagus bagi keberlanjutan pemerintah kedepannya. Karena mesti ada sanksi hukum dan kontrol sosial bagi yang melanggar.
Ujang meyakini, hal bagus dan positif jika Perppu 1/2020 bisa ditolak DPR. Karena memang fungsi DPR salah satunya mengawasi ekesekutif, ketika eksekutif salah jalan dan salah arah. "Bukan berkongkalingkong dengan eksekutif," ujar Ujang.
"Namun saya tidak yakin jika DPR berani menolak Perppu tersebut. Karena mayoritas fraksi-fraksi di DPR adalah fraksi pendukung pemerintah," sambungnya.
Dia melihat ada dilema bagi DPR. Jika Perppu ditolak artinya menampar dan mengganjal presiden. Namun jika diterima sama artinya membenarkan presiden melakukan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Ia juga mengapresiasi pernyataan keras anggota Komisi III DPR RI fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu terkait Perppu Nomor 1/2020 yang disebutnya tak pro rakyat.
Selayaknya, seorang wakil rakyat itu memang harus selaras dengan keinginan rakyat. Karena telah dipilih rakyat dan menjadi representasi rakyat di parlemen. "Sebagai wakil rakyat, dia sudah berkata apa adanya. Dan itu yang dibutuhkan rakyat,” kata Ujang Komarudin.

Seperti diketahui, sebanyak 24 tokoh mengajukan gugatan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi.
Tokoh-tokoh yang menggugat di antaranya politikus senior Partai Amanat Nasional Amien Rais, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin, mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, guru besar ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Sri Edi Swasono, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, dan lainnya.
Ada tiga pasal yang dipersoalkan para pemohon, yakni Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3; Pasal 27, dan Pasal 28. Pemohon meminta ketiga pasal ini dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal 2 Perpu itu dinilai bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. Pasal dalam Perpu tersebut mengatur pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk dapat menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap Undang-undang APBN sampai tahun 2022, tanpa mengatur batas maksimalnya.
Menurut para pemohon, pengaturan demikian bertentangan dengan karakter "priodik" UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Sebab, UU APBN 2021 dan 2022 pun belum ada produk hukumnya.
Pemohon juga menilai Pasal 2 Perpu membatasi daya ikat kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan persetujuan terhadap APBN, khususnya terkait besaran persen defisit anggaran. Padahal UUD 1945 mengatur bahwa UU APBN harus mendapat persetujuan rakyat melalui wakilnya, yakni DPR.
"Diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal sama saja dengan memberikan cek kosong bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai tiga tahun ke depan," begitu tertulis dalam poin A angka 7 alasan permohonan pengujian.
Baca Juga:
Para pemohon menilai pasal ini berpotensi disalahgunakan pemerintah untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya utang luar negeri. Pemerintah dinilai memiliki peluang lebih besar untuk memperbesar jumlah rasio pinjaman, seperti kecenderungan APBN dalam beberapa tahun terakhir.
Pemohon juga mempersoalkan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Pada pokoknya, Pasal 27 itu mengatur imunitas para pelaksana Perpu. Ketentuan ini memang disorot publik secara luas.
Adapun Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dianggap bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan putusan MK tentang syarat adanya kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan perpu. Menurut pemohon, situasi pandemi Covid-19 ini bukanlah kegentingan memaksa yang harus ditangani dengan Perpu terkait keuangan negara. (Knu)
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID

Kemenkes Temukan 1 Kasus Positif COVID dari 32 Spesimen Pemeriksa

178 Orang Positif COVID-19 di RI, Jemaah Haji Pulang Batuk Pilek Wajib Cek ke Faskes Terdekat

Semua Pasien COVID-19 di Jakarta Dinyatakan Sembuh, Tren Kasus Juga Terus Menurun Drastis

Jakarta Tetap Waspada: Mengungkap Rahasia Pengendalian COVID-19 di Ibu Kota Mei 2025

KPK Minta Tolong BRI Bantu Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19

KPK Periksa 4 Orang Terkait Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19, Ada Staf BRI

COVID-19 Melonjak, Ini Yang Dilakukan Menkes Budi Gunadi Sadikin

COVID-19 Mulai Melonjak Lagi: Dari 100 Orang Dites, Sebagian Terindikasi Positif

Terjadi Peningkatan Kasus COVID-19 di Negara Tetangga, Dinkes DKI Monitoring Rutin
