Diskusi Del Aje, Kawal Pembatalan RUU Permusikan


Diskusi perihal RUU Permusikan yang digelar di Galeri Foto Jurnalistik Antara (Foto: istimewa)
SEJAK pertama kali mencuat ke publik, Rancangan Undang-Undangan (RUU) Permusikan telah menuai pro-kontra. Tak sedikit kalangan musisi yang menolak RUU yang dianggap malah merugikan kalangan musisi.
Di tengah riuh rendah pro-kontra tersebut, Galeri Foto Jurnalistik Antara bekerja sama dengan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP) menggelar diskusi bertajuk Del Aje.
Perwakilan KNTL RUUP Wendi Putranto, pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti, musisi Viky Sianipar, musisi dan aktivis Kartika Jahja, dan perwakilan Koalisi Seni Indonesia Hafez Gumay hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut. Sementara itu, mantan Editor in Chief Majalah Hai Dani Satrio tampil sebagai moderator.
Diskusi yang digelar di Galeri Foto Jurnalistik Antara di kawasan Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (9/3) itu dibuka dengan penampilan musisi Adrian Adioetomo.
1. RUU Permusikan Muncul bukan sebagai Aspirasi para Musisi Seluruh Indonesia

Meskipun mengatur permusikan, rupanya RUU Permusikan bukanlah aspirasi dari seluruh musisi. Hal itu dicetuskan Wendi Putranto, perwakilan KNTL RUUP. "Salah satu alasan RUU ini bermasalah ialah karena stakeholder musik tidak dilibatkan dalam perumusannya," ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa RUU tersebut tidak mencerminkan aspirasi musisi di seluruh Indonesia. Ia menyebut RUU tersebut amat Jakarta-sentris. "Semua yang ada di Jakarta aja nih yang dilihat. Mereka enggak melihat apa yang terjadi di daerah. Itu yang sangat disesalkan," imbuh Wendi.
Selain itu musisi dan aktivis Kartika Jahja mengatakan hal-hal yang diatur dalam RUU Permusikan berlebihan. Dalam hal ini, ia menyoroti isi draft RUU yang membatasi konten lagu. "Harus ada ruang untuk setuju dan tidak setuju. Selain itu, setiap orang punya value tersendiri untuk menyaring hal-hal yang enggak perlu atau perlu. Jadi ini berlebihan kalau diatur di undang-undang," paparnya.
RUU usulan dari musisi sekaligus legislator Anang Hermansyah itu, menurut Wendi, berpotensi menyusahkan banyak orang. Untuk itulah, perlu diadakan rembuk ulang untuk merumuskannya.
Hal senada diungkapkan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Ia menyebut seharusnya RUU Permusikan disusun bottom up, yakni memperhatikan aspirasi dari bawah dan seluruh musisi. "Jadi teman-teman musisi dan seluruh pendukung industri musik berembuk dulu, baru naik ke politisi. Nah ini kan di-cut. Politisi dulu baru ke para musisi," ujarnya.
2. Upaya Revisi hingga Pencabutan Usulan

Dalam perkembangan polemik RUU Permusikan, para musisi sempat menggelar konferensi meja Potlot pada 12 Februari lalu. Dalam pertemuan itu, Anang hadir dan menyanggupi untuk mencabut RUU tersebut. "Jadi apa yang dilakukan Anang ini kan sebagai pertanggungjawabannya atas kesepakatan konferensi meja Potlot," ujar Wendi.
Selain kesepakatan untuk mencabut RUU Permusikan, dalam konferensi tersebut disetujui untuk menggelar sebuah musyawarah musik nasional. Di dalamnya, akan dihadirkan seluruh stakeholder musik dari seluruh Indoenesia.
Anang memang telah resmi mencabut RUU Permusikan pada Jumat (8/3). Meskipun demikian, pembahsannya di DPR tidak serta-merta dihentikan. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan masih panjang jalan sampai RUU tersebut dicabut.
Bivitri menjelaskan akan ada rapat yang membahas kembali prioritas tahunan. "Namun, di tengah tahun, sekitar Juli, mereka bisa rapat lagi dan meninjau ulang. Bisa aja mereka memutuskan undang-undang tertentu ditarik. Momentum itulah yang kita tunggu-tunggu," ujarnya.
Dalam hal RUU Permusikan, Bivitri menyebut jalan untuk disahkan masih panjang. "Kita belum masuk tahap pembahasan. Baru penyusunan aja," jelasnya.
Ketika ditanya apakah itu berarti kegaduhan seputar RUU Permusikan ini terlalu awal dan prematur, Bivitri menyebut justru lebih baik ketahuan dari awal. Dengan begitu, urun rembuk masih bisa dilakukan. "Jadi tarik napasnya masih pannjang. Kalau ketahuannya sudah di tahap pembahasan, kita lengah sedikit saja, itu sudah bisa jadi undang-undang. Kalau sekarang kan belum masuk ke tahap pembahasan itu," jelasnya.
3. Bukan RUU Permusikan yang Dibutuhkan

Setelah pencabutan usulan yang diungkapkan Anang, sejumlah musisi masiih gencar menyuarakan menolak RUU Permusikan. Wendi mengatakan hingga RUU resmi dibatalkan, teman-teman di KNTL RUUP akan terus menyoroti. "Ada 300 ribu orang yang menandatangani petisi menolak RUU ini. Kami ini dititipi amanah agar RUU ini batal," ujar Wendi. Ia bahkan enggak menutup kemungkinan para musisi akan unjuk aspirasi dengan bernyanyi di depan Gedung MPR/DPR.
Penolakan terhadap RUU ini bukan semata-mata karena isinya yang 'mengekang' kreativitas musisi. Namun, RUU tersebut amat mungkin akan tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada. "Musisi ini enggak butuh lagi RUU Permusikan. Yang dibutuhkan penegakan hukum," tegas Wendi.
Ia lalu menyebut bahwa Indonesia sudah ada instrumen yang memadai, semisal UU Hak Cipta yang di dalamnya mengatur royalti. Wendi menyoroti penegakan UU itu belum maksimal karena belum ada juklak dan juknis yang tepat untuk aturan itu.
Selain itu, ada UU Serah Simpan Karya Cipta dan Karya Cetak. Undang-undang itu akan mengatur dan menyimpan seluruh rilisan musik ke dalam sebuah perpustakaan (library) musik. "Dengan adanya arsip ini, kita enggak akan kecolongan karya kita diklaim," ujarnya.
Pendapat senada diungkapkan musisi Viki Sianipar. Musisi Batak tersebut dengan tegas mengatakan penegakan hukum amat dibutuhkan. "Apa yang kurang? Tinggal penegakannya kok. Undang-undang yang ada sudah cukup," tegasnya.
Meskipun demikian, Viki menyoroti perlunya standardisasi kompetensi dari profesi-profesi yang belum dicakup di Kementerian Tenaga Kerja. Namun, itu bukan berarti kompetensi hanya dibutuhkan cuma buat musisi. "Harus ada juga kompetensi buat pemahat, pelukis. Itu kan menyangkut tunjangan hari tua, pensiun, dan cuti misalnya," jelasnya.
Ketika ditanya apakah penting musisi diuji kompentensi, Viki menyebut amat penting. "Penting kompetensi musisi untuk industri. Kenapa? Biar ada stabdar kepuasan konsumen. Karena musik ini kan enggak hanya seni, ada juga musik yang dibuat industri, semisal pembuat jinggle, scoring, atau himne," jelasnya.
Di akhir permbincangan bersama Merahputih.com, Wendi menegaskan komitmen KNTL RUUP untuk terus mengawal hal ini. "Kita akan terus ada sampai RUU ini benar-benar dibatalkan. Setelah itu, barulah kita bikin muswayarah musik nasional untuk merumuskan lagi seperti apa di masa depannya," tutup Wendi.
Diskusi sore itu diakhiri dengan sebuah pertanyaan, "Jadi gimana ini RUU Permusikan?" Ucapan itu spontan dijawab yang hadir, "Del aje!" (dwi)
Bagikan
Berita Terkait
Bisnis Kasino Harus Dilokalisasi dan Dikenakan Pajak Menurut Guru Besar UI

Diskusi Publik dan Instalasi Seni Refleksi 27 Tahun Reformasi 1998

Piringan Hitam 'Indonesia Raya' dalam Delapan Versi Resmi Diluncurkan Kementerian Kebudayaan

Piringan Hitam 'Indonesia Raya' dalam Delapan Versi Resmi Diluncurkan Oleh Kementerian Kebudayaan

Isu Impunitas dan Kontroversi Undang-undang Kejaksaan Disinggung saat Diskusi Hukum IPRI

Koalisi Perempuan Pembela HAM Soroti Isu Solidaritas di ASEAN

Polisi Tangkap 2 Tersangka Baru Kasus Pembubaran Diskusi di Kemang

Propam Juga Periksa Warga Sipil Pasca Pembubaran Acara Diskusi di Kemang

30 Anggota Diperiksa Terkait Pembubaran Diskusi Para Tokoh di Kemang

Polri Sebut Pembubaran Paksa Diskusi Kemang Aksi Anarkis Brutal
