Cara Beberapa Negara Terpencil Minim Pelancong Menghadapi COVID-19


Beberapa tempat terpencil yang serius menghadapi COVID-19. (Foto: Unsplash/Torsten Dederichs)
SEJAK kasus pertama COVID-19 dikonfirmasi, virus telah menyebar ke setiap benua kecuali Antartika. Namun, terlepas ada beberapa negara terpencil yang tidak memiliki laporan kasus COVID-19. Mereka tetap dituntut selalu siap untuk hal yang terburuk.
Para ilmuwan yang tinggal dan bekerja di Antartika telah memberlakukan protokol ketat untuk tetap aman dan terhindari dari virus. Ada sejumlah stasiun penelitian dari beberapa negara yang tersebar di daratan luas Antartika. Tetapi karena lingkungannya yang unik, sangat kecil kemungkinan virus COVID-19 menyerang benua tersebut. Walau begitu, sudah ada langkah-langkah keamanan. Rencana darurat terutama fokus pada potensi berkurangnya pasokan dan penerapan karantina yang ketat bagi siapa saja yang menunjukkan gejala terinfeksi.
Baca juga:
Lama di Daerah Terisolasi, Pakar Traveling ini Bagi Tips Karantina

Kapal-kapal yang tiba di pangkalan biasanya butuh waktu berminggu-minggu untuk melakukan perjalanan penuh tantangan dari titik keberangkatan. Oleh karenanya, siapa pun yang berada di atas kapal dengan menunjukkan gejala-gejala penyakit apa pun, termasuk flu biasa, sudah diminta untuk mengisolasi.
Tidak semua negara terpencil dapat menerapkan aturan ketat seperti itu. Jadi, bagaimana dengan beberapa negara lain dalam mengatasi peristiwa ini?
Tuvalu, adalah kumpulan pulau-pulau kecil antara Fiji, Hawaii dan Australia. Umumnya, jumlah pelancong yang mampir setiap tahunannya tergolong sangat rendah. Diyakini sebagai negara yang paling jarang dikunjungi di dunia, mengingat begitu sulitnya untuk bisa mencapainya. Tuvalu juga merupakan salah satu negara dengan populasi paling sedikit di dunia.
Menurut sebuah laporan baru-baru ini, negara-negara dengan pelancong manca negara paling sedikit juga memiliki data yang tumpang tindih dengan daftar negara-negara yang tidak memiliki laporan memiliki kasus COVID-19. Logikanya tampak jelas. Pergerakan akan mempercepat penyebaran virus, namun tempat yang terpencil bukan berarti kebal akan virus.
Untuk beberapa lokasi, sedikitnya jumlah pelancong yang berkunjung baru-baru ini disebabkan oleh sebuah keadaan yang tragis, seperti pecahnya perang yang terjadi di Yaman. Bagi negara-negara lain, kejadian seperti perpecahan politik yang sudah berlangsung lama dan membatasi pergerakan orang. Korea Utara masih menyatakan tidak memiliki laporan kasus COVID-19 meskipun secara geografis dekat dengan pusat penyebaran. Para ahli mengklaim ini tidak mungkin, dan bahwa negara-negara seperti Yaman mungkin memiliki kasus juga, tetapi sulit untuk memverifikasi mengingat kondisi buruk di lapangan.
Baca juga:

Dalam daftar 10 negara dengan jumlah pelancong paling sedikit per tahun, hanya tiga yang sejauh ini melaporkan kasus COVID-19. Banyak orang akan berpikir untuk meninggalkan kota-kota besar padat populasi ke negara-negara terpencil seperti Tuvalu, namun kenyataannya kurang menarik.
Bagi para ahli medis, pengurangan perjalanan global pasti telah membantu membendung wabah dalam beberapa hari terakhir. Namun jika penyakit itu menyebar ke lokasi-lokasi terpencil ini, hal ini bisa menimbulkan mimpi buruk.
Sejumlah negara terpencil ini telah menyatakan kalau mereka sudah berada dalam keadaan darurat nasional. Kekhawatirannya adalah bahwa dengan terbatasnya ventilator dan tenaga medis, infeksi apa pun akan memiliki angka kematian yang tinggi. Negara kepulauan terkecil di dunia menanggapi ancaman itu dengan sangat serius.
Pulau Pasifik Nauru telah dikunci oleh Presiden Lionel Aingimea, mengatakan bahwa strategi "penangkapan dan penahanan" sudah dilaksanakan. Dengan populasi lebih dari 10 ribu jiwa, virus ini berpotensi memenuhi sebuah rumah sakit di pulau itu.
Masalah lainnya, dan salah satu yang mempercepat penyebaran awal COVID-19 adalah proses perjalanan itu sendiri. Dibutuhkan beberapa penerbangan individual dan sejumlah bandara berbeda untuk sampai ke tempat-tempat terpencil ini. Pesawat terbang sendiri telah diidentifikasi sebagai tempat berkembang potensi virus. Meskipun di destinasi akhir mungkin aman, namun tidak berlaku saat proses perjalanan ke destinasi akhir. (lgi)
Baca juga:
Bekal Pameran Masa Depan, Museum Dokumentasikan Kehidupan Saat Pandemi COVID-19
Bagikan
Leonard
Berita Terkait
Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID

Kemenkes Temukan 1 Kasus Positif COVID dari 32 Spesimen Pemeriksa

178 Orang Positif COVID-19 di RI, Jemaah Haji Pulang Batuk Pilek Wajib Cek ke Faskes Terdekat

Semua Pasien COVID-19 di Jakarta Dinyatakan Sembuh, Tren Kasus Juga Terus Menurun Drastis

Jakarta Tetap Waspada: Mengungkap Rahasia Pengendalian COVID-19 di Ibu Kota Mei 2025

KPK Minta Tolong BRI Bantu Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19

KPK Periksa 4 Orang Terkait Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19, Ada Staf BRI

COVID-19 Melonjak, Ini Yang Dilakukan Menkes Budi Gunadi Sadikin

COVID-19 Mulai Melonjak Lagi: Dari 100 Orang Dites, Sebagian Terindikasi Positif

Terjadi Peningkatan Kasus COVID-19 di Negara Tetangga, Dinkes DKI Monitoring Rutin
