Aluk Rampe Matampu, Rangkaian Upacara yang Menyangkut Kematian


Inti dari upacara ini adalah membawa jenazah dari tongkonan ke gua di tebing batu. (wikimedia)
RAMBU Solo atau Aluk Rampe Matampu merupakan rangkaian upacara yang menyangkut kematian dan pemakaman di Toraja. Upacara dilaksanakan setelah lewat tengah hari ketika matahari mulai terbenam yang menunjukkan kedukaan atas kematian. Ritual ini dilangsungkan untuk menyempurnakan kematian seseorang.
Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Ketika waktu, jenis, dan pembagian tugas sudah disepakati, semua keturunan dari almarhum (anak hingga cicit) yang merantau akan pulang ke tongkonan untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Tongkonan merupakan rumah adat utama yang merupakan pusat kehidupan sosial dan spiritual Suku Toraja.
Baca Juga:

Rangkaian kegiatan upacara pemakaman Rambu Solo sangat rumit serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan tradisi adat Toraja, orang yang meninggal baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya. Pihak keluarga membutuhkan waktu mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman. Besaran dana ini terkait dengan tingkat kemegahan upacara dan jumlah hewan yang akan dikurbankan.
Semakin banyak hewan yang dikurbankan dalam Rambu Solo maka semakin tinggi derajat orang yang meninggal ketika berada di nirwana. Daging hewan kurban kemudian dibagi-bagikan secara adat kepada keluarga dan masyarakat yang ikut berperan serta dalam upacara. Karena itulah, biaya untuk menyelenggarakan upacara Rambu Solo sangat besar, berkisar antara puluhan juta sampai ratusan juta rupiah.
Baca Juga:
Jangan Salah Kaprah, Begini Aturan Ulos di Hajatan Nikahan Batak

Selama masa tunggu pelaksanaan Rambu Solo, rapat keluarga dilakukan oleh keluarga inti untuk menentukan tingkat kemegahan upacara dan jumlah hewan yang akan dikurbankan. Mereka juga akan mengatur pembagian tugas setiap keluarga dalam upacara. Setiap musyawarah harus dilaksanakan di tongkonan tempat jenazah disimpan. Setiap kali selesai musyawarah, dilakukan memotong kerbau.
Meski secara medis sudah meninggal, jenazah dianggap "sedang sakit" atau to makula dan oleh anggota keluarga atau tetangga dan akan diperlakukan sebagaimana orang yang sedang sakit atau dalam kondisi lemah. Perlakuan ini berakhir ketika dilaksanakannya Rambu Solo. Ritual itu pada intinya adalah meaya, yakni memindahkan atau mengarak jenazah dari tongkonan ke lokasi penguburan yang berupa gua di tebing batu. (aru)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Cara Ramah Pulau Jeju Ingatkan Wisatawan yang Bertingkah, tak ada Hukuman

PSI Tolak Rencana Pramono Buka Ragunan hingga Malam Hari, Pertanyakan Kesiapan Fasilitas

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Penyegelan Pulau Reklamasi di Perairan Gili Gede Lombok Tunggu Hasil Observasi Lapangan

Serba-serbi Gunung Tambora, Pesona Jantung Konservasi Alam Khas Indonesia Timur

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Korea Utara Buka Resor Pantai Baru demi Cuan di Tengah Sanksi Ketat

Tidak Perlu Ribet Isi Berbagai Aplikasi Pulang Dari Luar Negeri, Tinggal Isi ALL Indonesia

Dibekali Kemampuan Bahasa Asing, Personel Satpol PP DKI Jakarta Dikerahkan ke Kawasan Wisata dan Hiburan
