UMP 2026 Terancam Anjlok, Legislator PDIP Tagih Janji Hidup Layak Sesuai Konstitusi
Sabtu, 20 Desember 2025 -
Merahputih.com - Rencana penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026 memicu gelombang penolakan dari serikat pekerja. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menjadwalkan aksi massa di Istana Negara pada Jumat (19/12) guna memprotes Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan.
Buruh khawatir regulasi baru tersebut mengabaikan prinsip Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan memangkas persentase kenaikan upah dibanding tahun sebelumnya.
“Dalam pemaparan Menteri Ketenagakerjaan sudah disebutkan indeks kenaikan berada di rentang 0,5 sampai 0,9. Ini jelas lebih baik dibanding PP 51 Tahun 2023 yang hanya 0,1 sampai 0,3, dan sudah mengacu pada kebutuhan hidup layak serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto dalam keterangannya, Jumat (19/12).
Baca juga:
UMP Jakarta 2026 Pasti Naik, Pramono Anung Targetkan Rampung Cepat
Proyeksi Kenaikan Berdasarkan Realitas Ekonomi
Edy memaparkan bahwa dengan mempertimbangkan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kenaikan UMP yang realistis seharusnya berada di angka 5,5 hingga 7,5 persen.
Menurutnya, besaran ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak tergerus. Namun, ia menekankan bahwa formula matematis tidak boleh mengalahkan substansi utama, yaitu standar KHL di tiap daerah yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja.
Upah Riil dan Peran Negara dalam Pengendalian Harga
Selain besaran upah nominal, Edy menyoroti pentingnya pengendalian harga kebutuhan pokok seperti pangan dan transportasi. Kenaikan gaji akan terasa sia-sia jika inflasi barang-barang dasar melonjak lebih tinggi.
Politisi PDI-Perjuangan ini mendesak pemerintah untuk memperkuat subsidi dan intervensi pasar guna memastikan kenaikan upah benar-benar meningkatkan taraf hidup pekerja secara nyata.
Baca juga:
Mendagri Minta Gubernur Tetapkan UMP 2026 Paling Lambat 24 Desember
Dukungan untuk Sektor UMKM dan Informal
Edy juga mengingatkan agar kebijakan upah ini tidak memberikan beban berlebih pada sektor UMKM tanpa adanya bantuan dari negara.
Ia mendorong penggunaan APBN dan APBD untuk memberikan subsidi langsung atau pelatihan keterampilan bagi pekerja informal agar kesenjangan ekonomi tidak semakin melebar.
“Kesejahteraan pekerja tidak boleh hanya dibebankan pada pengusaha. Negara harus hadir melalui APBN dan APBD, terutama untuk pekerja UMKM dan informal, agar kebijakan upah tidak memperlebar kesenjangan dan benar-benar menurunkan angka kemiskinan,” ucap Legislator Dapil Jawa Tengah III itu.