Toxic Positivity Bukan Suatu Hal yang Positif
Selasa, 13 Desember 2022 -
“YUK bisa yuk”. Sebuah kalimat yang sering diucapkan oleh banyak orang ketika dirinya sebenarnya sudah lelah dan tidak memumpuni untuk melakukan suatu pekerjaan. Namun mereka memaksakan dirinya dan berpikir positif bahwa dirinya bisa. Hal ini disebut dengan Toxic Positivity.
Dikutip dari Psychology Today, Toxic Positivity bukan suatu istilah klinis namun sudah menjadi bagian dari kosakata kolektif dan sedang trendi di kalangan anak muda saat ini. Toxic Positivity merupakan suatu tindakan untuk menghindari, menekan, atau menolak emosi dan pengalaman negatif. Hal ini berupa penangkalan emosi diri kita sendiri atau orang lain menyangkal emosi kita untuk terus berpikir positif.
Baca Juga:

Nyatanya meskipun namanya positif, namun toxic positivity sama sekali bukan hal yang positif. Hal ini hanya penghindaran dan penyangkalan emosional yang bagus. Sedangkan kepositifan otentik merupakan kemampuan untuk menemukan makna, tujuan, kegembiraan, hiburan, inspirasi, rasa terima kasih, kepuasan, minat, kekaguman, cinta, dan harapan sambil berkomitmen pada realitas kehidupan yang baik, buruk, dan mengerikan.
Sebaliknya, adapun suatu kepositifan otentik. Suatu tindakan yang bukan merupakan sebuah penghindaran, penyangkalan, dan kenaifan seperti “Semuanya baik-baik saja”. Namun lebih seperti “Semuanya tidak baik-baik saja. Segalanya sulit sekarang. Meskipun demikian, aku dapat memilih bagaimana aku memikirkan situasi ini dan menanggapinya”. Tentunya hal ini lebih menunjukkan keberanian dan tanggung jawab diri di kondisi yang sedang tidak baik-baik saja.
Psikiater bernama Viktor Frankl menyatakan, ”Hasrat manusiawi kita yang terdalam menemukan makna dalam hidup, dan apabila kita menemukan makna, kita bisa bertahan dalam segala hal”.
Baginya makna berasal dari tiga sumber, yaitu kerja yang memiliki tujuan, mencintai sesuatu atau seseorang sepenuhnya, dan menemukan keberanian dalam menghadapi kesulitan serta kebahagiaan.
Baca Juga:
Toxic Masculinity, Ketika Laki-Laki Dituntut harus Memiliki Maskulinitas

Dari hal ini, kamu bisa memilih bagaimana kamu bertindak dan bersikap, apapun keadaannya. Bahkan ketika berada di situasi yang terburuk, kamu masih bisa untuk memilih pandangan yang menurutmu tepat. Seperti memilih keputusasaan, pesimisme, ketidakberdayaan, dan sebagainya.
Frankl menyebut hal ini dengan optimisme tragis yang didefinisikan sebagai suatu optimisme dalam menghadapi tragedi. Biasanya mengingat potensi manusia dalam kondisi terbaiknya selalu memungkina untuk mengubah penderitaan menjadi sebuah pencapaian.
Tentunya bila dibandingkan, kepositifan otentik itu penting dalam hidup. Ketika mengalami sesuatu yang sulit, ingatkan diri bahwa kamu tidak dapat memilih keadaan eksternal, namun selalu bisa untuk bersikap dan menanggapi suatu hal. (yos)
Baca Juga: