Toxic Masculinity, Ketika Laki-Laki Dituntut harus Memiliki Maskulinitas

Andreas PranataltaAndreas Pranatalta - Sabtu, 29 Oktober 2022
Toxic Masculinity, Ketika Laki-Laki Dituntut harus Memiliki Maskulinitas

Tidak masalah sama sekali ketika laki-laki menangis. (Foto: Unsplash/Austin Human)

Ukuran:
14
Audio:

“JADI cowo enggak boleh cengeng." Pernah mendengar atau menerima kalimat tersebut? Sikap tersebut sudah termasuk toxic masculinity, ketika memberikan dukungan positif, yang ada malah berdampak buruk bagi kehidupan sosial dan kesehatan mental pria. Lalu, apa sih toxic masculinity?

Mengutip laman Alodokter, toxic masculinity adalah tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap sebagaimana mestinya seorang pria. Misalnya, pria itu harus menunjukkan kekuatan, enggak boleh cengeng, berkuasa, dan pantang mengekspresikan emosi. Maskulin pada dasarnya adalah karakteristik yang baik, tapi bisa menjadi toxic ketika pria dituntut harus memiliki maskulinitas demi menghindari stigma laki-laki lemah.

Padahal tidak masalah sama sekali ketika pria memiliki sifat yang lembut, mudah menangis, ramah, dan sensitif.

Dalam toxic masculinity, emosi cenderung dinilai sebagai kelemahan dan kejantanan identik dengan kekuatan, ketangguhan, atau wibawa. Jadi setiap pria harus mampu menyimpan emosi dalam situasi apa pun, khususya kesedihan dan bersikap dominan.

Baca juga:

Belajar Melawan Toxic Masculinity dari Idola K-Pop

Toxic Masculinity, Ketika Laki-Laki Dituntut harus Memiliki Maskulinitas
Laki-laki juga punya perasaan. (Foto: Unsplash/Jakob Owens)


Sikap toxic masculinity bisa tampak ketika tidak menunjukkan emosi sedih dan mengeluh, serta menganggap bahwa pria hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah. Selain itu juga menganggap keren kebiasaan yang tidak sehat, seperti merokok, minum minuman beralkohol, bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Sejak kecil, kebanyakan anak laki-laki dididik dan dituntut untuk menjadi sosok yang kuat dan tangguh. Kesedihan seolah menjadi hal yang tabu dan perlu dihindari karena kerap dianggap tanda kelemahan. Padahal sejatinya, setiap manusia memiliki emosi yang perlu dirasakan dan diluapkan.

Konsep maskulinitas yang keliru ini dapat menjadi salah satu faktor risiko bagi pria untuk melakukan kekerasan rumah tangga, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan. Di samping itu, pria yang menjunjung toxic masculinity juga bisa merasa terasingkan, terisolasi, dan kesepian.

Baca juga:

Pemuda Negeri Aing Penuh Perjuangan untuk Keluar dari Hubungan Toxic

Toxic Masculinity, Ketika Laki-Laki Dituntut harus Memiliki Maskulinitas
Tanamkan pada anak sejak dini. (Foto: Unsplash/Kat J)

Agar tidak terjebak dengan konsep maskulin, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memperbaiki pola asuh orang tua terhadap anak laki-laki.

Orang tua bisa mengajarkan anak untuk bisa merasakan dan mengekspresikan berbagai emosi yang ia rasakan. Beri tahu padanya bahwa tidak ada salahnya jika anak laki-laki untuk mengungkapkan keluh kesah serta menunjukkan rasa sedih dan menangis.

Dengan memiliki empati, anak akan bisa memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, serta mengendalikan emosinya dengan baik. Pantau juga media hiburan yang diberikan pada anak, baik itu buku, film, gawai, dan lainnya. (and)

Baca juga:

4 Tanda Seseorang Terjebak dalam Hubungan Toxic

#Kesehatan Mental
Bagikan
Ditulis Oleh

Andreas Pranatalta

Stop rushing things and take a moment to appreciate how far you've come.

Berita Terkait

Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Fun
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Pelarian Artscape hadir sebagai pelampiasan yang sehat dan penuh makna.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 04 Agustus 2025
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Indonesia
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Kelelahan mental merupakan sindrom yang dihasilkan dari stres terkait dengan pekerjaan kronis.
Dwi Astarini - Rabu, 30 Juli 2025
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Lifestyle
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Gangguan perasaan bisa berupa emosi yang tumpul atau suasana hati yang kacau
Angga Yudha Pratama - Sabtu, 26 Juli 2025
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Indonesia
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Hasil ini menjadi sinyal penting perlunya konsultasi lebih lanjut dengan tenaga profesional.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 21 Juli 2025
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Indonesia
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Depresi yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan depresi yang resistan terhadap pengobatan atau treatment resistant depression atau (TRD).
Alwan Ridha Ramdani - Jumat, 11 Juli 2025
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Lifestyle
Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja
Untuk skizofrenia, faktor risikonya mencakup genetik
Angga Yudha Pratama - Kamis, 15 Mei 2025
Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja
Fun
Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja
Skizofrenia dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan.
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 15 Mei 2025
Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja
Fun
Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja
Penderita GB I, mengalami setidaknya satu episode manik yang berlangsung selama seminggu atau lebih.
Ananda Dimas Prasetya - Rabu, 14 Mei 2025
Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja
Fun
Pelan Tapi Pasti Hempas Insecure, Ini 5 Cara Mudah Tingkatkan Kepercayaan Diri
Perasaan insecure selalu berkaitan dengan kepercayaan diri.
Ananda Dimas Prasetya - Selasa, 25 Februari 2025
Pelan Tapi Pasti Hempas Insecure, Ini 5 Cara Mudah Tingkatkan Kepercayaan Diri
Bagikan