Tegas Tolak Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Marzuki Darusman: Cermin Pengabaian HAM dan Reformasi
Selasa, 04 November 2025 -
MerahPutih.com - Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menegaskan penolakannya terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Ia menilai langkah tersebut bukan hanya tidak pantas, tetapi juga menunjukkan pengabaian besar negara terhadap sejarah kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama rezim Orde Baru.
“Dengan serangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi pada masa Orde Baru, Soeharto merupakan perlambang tunggal dari kekerasan itu,” ujar Marzuki dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11).
Marzuki meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersikap tegas terhadap usulan dari Dewan Gelar dan Kementerian Sosial agar tidak gegabah meloloskan Soeharto sebagai penerima gelar bersama sejumlah calon lain.
“Presiden Prabowo dalam hari-hari yang akan datang harus meluruskan, apakah usul dari Dewan Gelar dan Kementerian Sosial itu akan diloloskan atau tidak,” tegasnya.
Ketua Komnas HAM 1996–1998 itu menyoroti pernyataan Ketua Dewan Gelar yang mengklaim belum mendengar suara penolakan terhadap usulan tersebut.
“Ketua Dewan Gelar mengatakan tidak pernah mendengar suara penolakan. Hari ini, kita perdengarkan suara itu,” kata Marzuki.
Baca juga:
Dalam kesempatan itu, Marzuki juga mengkritik arah pemerintahan saat ini yang dinilainya lebih memperhatikan kepentingan luar negeri ketimbang mendengarkan suara rakyat.
“Kita punya presiden yang sering ke luar negeri, berbicara dengan pemimpin luar negeri, tetapi tidak banyak berbicara dengan pemimpin bangsanya sendiri,” ujarnya.
“Presiden tahu kepentingan luar negeri, tetapi kalau ada protes dalam negeri mengatakan ini campur tangan luar negeri,” tambahnya dengan nada sindiran.
Ia menilai, komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan HAM masih jauh dari harapan.
“Kita di tengah semangat memberantas korupsi, presiden justru mengatakan pulangkan uang itu diam-diam,” ucapnya.
“Kalau Soeharto Jadi Pahlawan, Di Situ Kita Tarik Garis,” tegas Marzuki.
Menurut Marzuki, publik telah mentolerir berbagai anomali kebijakan selama satu tahun terakhir, namun rencana pemberian gelar kepada Soeharto merupakan batas moral yang tak bisa lagi diterima.
“Kalau sampai Presiden Soeharto dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, di situ kita tarik garis,” tegasnya.
Baca juga:
Kontroversi Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Bivitri Susanti: Alarm Bahaya bagi Demokrasi
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama 30 tahun kekuasaan Soeharto belum pernah diselesaikan hingga kini.
“Gerakan seperti Kamisan dan perjuangan mencari keadilan untuk Munir adalah bukti pengabaian yang tidak ada taranya dalam sejarah politik kita,” ujarnya.
Marzuki menegaskan dari sisi hukum, Soeharto tidak layak menerima gelar Pahlawan Nasional karena masih terikat TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 yang menegaskan perlunya memproses Soeharto atas dugaan korupsi besar-besaran selama masa jabatannya.
“TAP MPR itu belum pernah dicabut. Kalau ada kabar bahwa nama Soeharto dihapus, itu bukan hasil permusyawaratan, tapi hanya permufakatan beberapa pimpinan MPR,” jelasnya.
“Secara hukum, tidak bisa Presiden Soeharto diberikan gelar kepahlawanan,” tambah Marzuki.
Ia menilai, dorongan pemberian gelar kepada Soeharto tak lepas dari upaya politik untuk menulis ulang sejarah versi pemerintah.
“Rencana ini terkait dengan proses menulis ulang sejarah Indonesia yang juga menyangkut peranan Soeharto, dan tidak lepas dari hubungan historis serta kekerabatan antara Presiden Prabowo dengan Presiden Soeharto,” pungkasnya. (Pon)