Tarik PPh 35 Persen, Pemerintah Bisa Bikin Unit Profil dan Jaringan bisnis Orang Kaya
Kamis, 15 Juli 2021 -
MerahPutih.com - Rencana pengenaan tarif baru Pajak Penghasilan (PPh) untuk orang pribadi (OP) dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar belum tentu menyasar kelompok kaya secara efektif.
Hal ini karena, penghasilan orang kaya umumnya berasal dari modal, seperti dividen, sewa, dan royalti yang telah dikenakan pajak final, di luar tarif yang bersifat umum dan progresif.
"Dengan demikian, cakupan tarif baru ini belum tentu menyasar secara efektif kepada kelompok kaya," kata Bawono Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji di Jakarta, Rabu (15/7).
Baca Juga:
Sri Mulyani Perintahkan DJP Bikin Aplikasi Yang Mudahkan Orang Bayar Pajak
Bawono melanjutkan, dari sisi administrasi, pemajakan orang kaya juga relatif menantang karena kompleksitas bisnis serta risiko penghindaran pajak yang lebih besar. Pemerintah bisa mempertimbangkan mengenakan capital gain tax bagi penghasilan dari modal. Pemerintah juga bisa menggunakan skema pemajakan berbasis kekayaan dan harta warisan.
Selain itu, pembentukan unit khusus yang dilengkapi dengan data profil orang kaya dan jaringan bisnis secara terintegrasi adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan. Untuk mengatasi potensi penghindaran pajak, pemerintah juga bisa melakukan pendekatan kepatuhan berbasis cooperative compliance.
Dalam Rancangan Undang-Undang-Undang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah berencana memungut pajak sebesar 35 persen untuk orang dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.
Bawono mengapresiasi rencana tersebut karena beberapa organisasi internasional seperti IMF, OECD, dan ADM juga telah menyerukan supaya kelompok kaya berkontribusi lebih besar terhadap pajak.
"Selain guna menjamin optimalisasi penerimaan PPh OP, resep ini juga diajukan dalam rangka mengurangi ketimpangan," terangnya.
Ia memandang reformasi pajak mendesak dilakukan saat ini. Pajak mesti dapat berperan lebih besar untuk menjamin ketersediaan dana pembangunan, tidak hanya dalam jangka pendek tapi juga menengah-panjang.
"Reformasi pajak juga diperlukan dalam rangka mewujudkan pemulihan ekonomi yang inklusif dan ditopang secara adil oleh berbagai kelompok serta sektor," katanya.
Ia melanjutkan, pandemi COVID-19 telah mendorong reformasi pajak di berbagai negara, untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Hal ini dipicu oleh keterbatasan daya tahan anggaran dalam mengantisipasi risiko fiskal yang timbul akibat defisit anggaran dan peningkatan utang.
"Pandemi juga telah mendorong reformasi pajak di tingkat global. Contohnya dengan adanya pembicaraan mengenai pajak digital yang sudah mengarah ke arah konsensus," ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan upaya reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah merupakan langkah dalam mengatasi berbagai tantangan yang timbul akibat adanya perkembangan global.
"Kita dan DPR sedang membahas sebuah upaya reformasi perpajakan karena dunia terus berubah menciptakan kesempatan namun juga bisa mengancam Indonesia apabila tidak berubah,” katanya.
Sri Mulyani menyatakan Indonesia harus mampu melihat seluruh tren perubahan global yang menciptakan peluang positif sekaligus ancaman seperti masifnya perkembangan teknologi dan untuk terus merumuskan langkah-langkah untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara yang salah satunya melalui reformasi perpajakan ini.
"Salah satu bentuk reformasi itu adalah reformasi sistem teknologi informasi (TI) dan database maupun pembangunan aplikasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan," ujarnya dikutip Antara. (*)
Baca Juga:
Indonesia Segera Dapat Pemasukan Pajak dari Perusahaan Digital Global