Tan Malaka: Bad Boy dari Lembah Suliki (Bagian 1)
Rabu, 25 Februari 2015 -
MerahPutih Nasional - Membaca kisah perjuangan yang ditorehkan oleh Tan Malaka membuat begitu banyak pertanyaan? Mengapa begitu sedikit kisah sejarah yang mencatatkannya. Padahal begitu banyak dan begitu besar sumbangan yang diberikan tokoh yang bernama lengkap Datuk Sutan Tan Malaka Ibrahim dalam menggelorakan kemerdekaan indonesia di tahun 1945.
Walaupun menyandang gelar pahlawan nasional begitu banyak tokoh yang sepertinya alergi terhadapnya karena nama dan pemikiran Tan Malaka dianggap lekat dengan paham komunisme.
Menyambut 70 Tahun Indonesia Merdeka redaksi merahputih.com mengupas pemikiran dan aksi peran yang dilakukan oleh Tan Malaka. Tokoh sejarah yang banyak mengundang kontroversi, namun banyak kalangan mengakui kiprah serta pemikirannya agar Republik Indonesia Merdeka 100%!
Datuk Tan Malaka dilahirkan di Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat, tahun 1896 dengan gelar Sutan Ibrahim. Ayahnya, Rasad Chaniago, adalah pegawai rendahan. Sedangkan ibunya, Sinah Simabur, seorang ibu rumah tangga. Dalam keluarga, Tan adalah sulung dari dua bersaudara. Sang adik, Kamaruddin, usianya enam tahun lebih muda.
Dilahirkan dalam sebuah keluarga pemeluk Islam yang taat, sejak kecil Tan Malaka sering diceritakan tentang nabi-nabi, seperti kisah Adam dan Hawa, Nabi Yusuf, dan Nabi Muhammad.
Ayah dan Ibu Tan Malaka sangat peduli tehadap akhlak anaknya, sehingga tidak hanya menyekolahkan anaknya di Sekolah Rakyat, tetapi juga menyuruhnya belajar ngaji di surau. Hal itu pula yang menbuat Tan Malaka sudah bisa menafsirkan Al-Quran dan sudah dijadikan Dalam usia yang relatif muda.
Tak Kenal Takut
Di masa kecilnya, Tan Malaka adalah seorang anak yang pemberani, nakal dan keras kepala. Pria kelahiran Suliki, Sumatra Barat, 1894 itu dikenal suka berkelahi, terutama ketika ada perkelahian antar-kampung atau yang kini sering disebut tawuran. Di antara teman-temannya, Tan Malaka dianggap sebagai seorang jagoan. Ia memiliki jiwa yang tak kenal takut dan pantang menyerah.
Suatu hari, Tan Malaka melayani tantangan dari temannya untuk berenang di sebuah sungai. Padahal saat itu, ia masih terlalu lemah untuk melayani tantangan temannya yang usianya sudah senior itu.
Apalagi saat itu arus sungai sangat deras dan bergelombang. Alhasil, Tan Malaka kecil pingsan di tengah sungai. Untungnya, teman-temannya yang usianya lebih tua di atasnya bisa menyelamatkan dan membawanya ke tepian.
Tan Malaka kemudian dibawa teman-temannya pulang dan baru sadar ketika dipukul oleh ibunya yang bernama Rangkayo Sinah dengan sapu lidi. Tak hanya dari ibunya, Tan Malaka juga kerap mendapat hukuman dari gurunya karena kenakalannya.
Dalam buku berjudul 'Tan Malaka; Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, disebutkan hukuman yang kerap diberikan oleh ibu dan guru kepada Tan Malaka antara lain dipukul dengan sapu lidi, dijemur di pinggir jalan sambil menggigit alat yang biasa digigit kuda agar malu dilihat orang, dimasukkan ke kandang ayam, hingga diputar pusarnya. Hukuman terakhir itu merupakan hukuman yang paling ditakuti oleh Tan Malaka kecil.
Saking seringnya mendapat hukuman, Tan Malaka sampai-sampai heran. Sebab, tak hanya dia yang nakal dan berbuat salah. Keheranan ini bahkan dibawanya hingga dewasa.
"Sampai kini saya masih merasa heran mengapa justru sayalah yang harus menjadi korban hukuman itu?" kata Tan Malaka dalam autobiografinya tersebut. (man)