Soeharto Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional, dari Prajurit PETA hingga Presiden 32 Tahun

Senin, 10 November 2025 - Ananda Dimas Prasetya

MerahPutih.com - Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto menjadi salah satu dari sepuluh nama yang bakal ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan mengumumkan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional pada Senin (10/11).

Namun, wacana penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sejumlah pihak menolak rencana ini dengan alasan rekam jejak Soeharto selama 32 tahun berkuasa yang dinilai kontroversial.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta pada 8 Juni 1921 dari keluarga sederhana. Ayahnya, Kertosudiro, bekerja sebagai petani sekaligus pembantu lurah yang bertugas mengatur pengairan sawah desa.

Sejak kecil, Soeharto bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) di Puluhan, Pedes, dan Tiwir pada 1929–1931. Ia kemudian melanjutkan ke Schakel School di Wonogiri dan Schakel Muhammadiyah di Yogyakarta hingga 1939.

Setelah lulus, Soeharto sempat bekerja sebagai pembantu klerk di Volks Bank (bank desa) di Wuryantoro. Namun pekerjaan itu tidak lama dijalaninya karena ia lebih tertarik pada dunia militer.

Baca juga:

Prabowo Umumkan 10 Pahlawan Nasional, Termasuk Soeharto di Hari Pahlawan 2025

Karier Militer

Pada 1940, Soeharto mengikuti ujian masuk Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda dan diterima dengan nilai terbaik. Ia kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Kadet di Gombong pada 1941 untuk meraih pangkat sersan.

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, Soeharto bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan memperoleh pangkat shodanco atau komandan peleton. Ia kemudian dipromosikan menjadi chudanco atau komandan kompi dengan penugasan di Wates dan Glagah, Yogyakarta.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Soeharto menjabat sebagai Komandan Batalyon X dalam struktur Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kemudian menjadi Komandan Brigade X (Brigade Mataram) pada 1948 dengan pangkat Letnan Kolonel.

Soeharto menikah dengan Siti Hartinah (Ibu Tien Soeharto) pada 26 Desember 1947. Pasangan ini dikaruniai enam anak: Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Titiek Soeharto, Tommy Soeharto, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jalan Menuju Kekuasaan

Pada 1950, Soeharto telah menjabat sebagai komandan batalyon di Jawa Tengah dengan pangkat letnan kolonel. Dalam 15 tahun berikutnya, karier militernya terus menanjak: menjadi kolonel (1957), brigadir jenderal (1960), dan mayor jenderal (1962).

Soeharto mulai dikenal luas setelah peristiwa 30 September 1965 (G30S). Sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), ia memimpin operasi penumpasan terhadap kelompok yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada Maret 1967, MPRS secara resmi menunjuk Soeharto sebagai Penjabat Presiden, sebelum akhirnya pada Maret 1968 ia dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan lima tahun. Ia kemudian memimpin Indonesia selama 32 tahun (1967–1998).

Baca juga:

Soal Usulan Soeharto Jadi Pahlawan, Putri Gus Dur: Ada Jejak Panjang Pelanggaran HAM hingga Korupsi

Pemerintahan dan Kontroversi

Selama masa pemerintahannya, Soeharto berhasil membawa pertumbuhan ekonomi pesat, termasuk mencatat pertumbuhan hingga 10,9 persen pada 1968, tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Namun, pemerintahannya juga dikritik sebagai rezim otoriter yang bertumpu pada kekuatan militer. Melalui doktrin Dwifungsi ABRI, militer aktif di bidang politik dan menempati kursi-kursi legislatif.

Soeharto juga dikaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti pembantaian massal 1965–1966, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan di Aceh, Timor Timur, Papua, hingga penghilangan paksa aktivis 1997–1998.

Selain itu, muncul kasus penembakan misterius (petrus) pada awal 1980-an yang menargetkan orang-orang yang dianggap preman. Pemerintah telah mengakui sejumlah peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

Di bidang politik, Soeharto memegang kendali penuh melalui partai pemerintah, Golkar, yang selalu menang telak dalam setiap pemilihan umum selama masa pemerintahannya.

Kejatuhan

Krisis ekonomi Asia pada 1997 memperburuk kondisi Indonesia. Gelombang demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai daerah menuntut reformasi dan pengunduran diri Soeharto.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan oleh wakil presiden saat itu, B.J. Habibie. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan