Strategi Mengatasi Mom Shaming
Kamis, 18 November 2021 -
KETIKA si kecil lahir, babak baru kehidupan di mulai. Drama baru pun bermunculan. Mulai dari serangan baby blues hingga berselisih paham dengan ibu sendiri atau mertua dalam hal mengurus buah hati.
Ada saja celetukan pedas yang menjurus ke arah mom shaming. "Padahal bagusan ASI loh daripada sufor (susu formula)", "Ih kok anaknya kurus banget malah ibunya yang gendut", "Anaknya sama babysitter? Emang enggak sayang?", "Anaknya kok dikasih bubur fortifikasi sih? Kalau ibu mah selalu bikin sendiri!", "Hati-hati loh kalo anaknya belum bisa duduk mandiri. Red flag banget!", "Makanya jangan dikasih gadget mulu! Jadi speech delay kan" dan masih banyak ucapan yang terlontar dari mertua tanpa memperhatikan perasaan.
Belum lagi jika mertua masih menuntut kita untuk tetap memperhatikan anaknya (suami) kita meskipun kita kerepotan urus bayi. Ataupun dalam kondisi ekstrem mertua memberi makan pisang pada bayi di bawah enam bulan karena terus menangis. Waduh!
Baca juga:
Pernahkah kamu mengalami hal tersebut? Tenang. Kamu bukanlah satu-satunya. Di luar sana ada banyak ibu muda yang berjuang menahan komentar pedas mertua terhadap pola asuh yang diaplikasikannya. Dalam survei yang dilakukan BukaReview terhadap 208 ibu milenial, 88% ibu pernah mengalami mom shaming. Sebanyak 38% sering menerima mom shaming dari saudara atau anggota keluarga seperti orangtua atau mertua.

Lantas, mengapa pihak yang lebih tua justru memiliki kecenderungan untuk mom shaming? Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi generasi terdahulu melakukannya kepada ibu baru. Beberapa berpikir bahwa mereka sudah lebih berpengalaman dan tahu banyak hal tentang mengasuh anak, ada pula yang membutuhkan validasi bahwa pola asuhnya dulu adalah yang terbaik. Sementara alasan paling umum yang memicu bentrok mertua menantu yakni adanya generation gap atau hidup di generasi berbeda.
"Mungkin yang mereka tahu itu adalah saat mereka jadi ibu berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi mereka perlu beradaptasi dengan yang terbaru," ujar parenting influencer, Rahne Putri.
Selain itu, ketika orangtua kita atau mertua masih mengurus anak, akses informasinya masih begitu terbatas. Pola pengasuhan yang diaplikasikan di masa lalu bersifat turun temurun tanpa landasan teori yang tepat. Beberapa bahkan tidak logis. Misalnya, memberi makan pisang pada bayi di bawah enam bulan. Padahal lambungnya belum kuat, membalurkan tubuh bayi dengan bawang merah padahal kulit bayi masih sensitif, dan lain sebagainya.
Baca juga:
Jika dipendam terus tentu akan buruk bagi mental ibu baru. Menurut psikolog, Vera Itabiliana, S.Psi, M.Psi mom shaming bisa menurunkan rasa percaya diri ibu terhadap kemampuannya mengurus anak, dan membuat ibu baru menilai bahwa dirinya adalah ibu yang buruk dan tidak pantas disebut ibu. "Efeknya bisa membekas lama, makanya harus cepat diatasi agar tidak sampai tahap depresi," ujarnya.
Lalu apa sih yang bisa dilakukan ibu baru untuk tetap menjaga kewarasan tanpa terkesan tidak sopan? Vera menyarankan ibu muda untuk meningkatkan kemampuan memfilter omongan orang. "Jika kritikan tersebut bersifat membangun, tidak bisa disebut mom shaming," tuturnya.
Perlu disadari juga, bahwa apa yang dilakukan oleh orangtua atau mertua pada kita adalah wujud dari kepedulian. Wujud dari rasa sayang pada cucunya. Namun, mereka mengekspresikan dengan cara yang kurang tepat.

Cara paling ampuh menghindari bentrok yang berujung pada mom shaming adalah dengan membuat batasan yang tegas. "Set up territories, set up boundaries. Di mana kita ingin dibantu dan sejauh mana kita butuh bantuan supaya mereka juga paham apa yang mereka bisa bantu untuk anaknya yang baru lahiran," jelas parenting influencer, Rahne Putri.

Penting juga untuk memperkaya wawasan kita terutama akan ilmu parenting. Menurut parenting influencer lainnya, Annisa Steviani. Informasi akurat tentu bisa memperkuat argumen kita saat berhadapan dengan orangtua atau mertua. "Belajar yang banyak dan jangan hanya percaya pada orangtua atau mertua karena ilmu parenting mereka sudah jauh berbeda dengan zaman sekarang," jelasnya.
Orangtua yang berpikiran terbuka tentu akan menerima informasi baru. Namun, jika mereka tidak bisa menerima argumen, Annisa memberi saran yang sama dengan Rahne, "Kalau ternyata semakin menyulitkan ya set boundaries," tukasnya. (Avia)
Baca juga: