Jangan Dibiasakan deh, Mom Shaming Bisa Lukai Perasaan Ibu


Lebih dari 80 persen ibu di Indonesia pernah mengalami mom shaming. (foto: Pexels/cottonbro)
‘KOK jadi ibu malas sekali sih. MPASI anak dikasi yang instan’. Komentar semacam itu jamak terdengar di Indonesia. Beberapa orang bahkan menganggap ujaran itu lumrah saja. Padahal, komentar demikian menjurus ke mom shaming loh.
Menurut Urban Dictionary, mom shaming adalah perilaku mengkritik atau mempermalukan seorang ibu atas pilihan cara asuh. Hal itu dilakukan karena pilihannya berbeda dengan pilihan pelaku.
Mom shaming mirip dengan bullying, tapi korbannya ialah seorang ibu. Hal ini paling sering terjadi pada ibu baru atau ibu muda.
BACA JUGA:
Menurut psikolog Vera Itabiliana, SPsi, MPsi, tidak semua bentuk kritik dikategorikan sebagai mom shaming. Mom shaming harus dilihat dari dua sisi, dari sisi yang memberikan pernyataan dan yang mendengarkannya.
Ia melanjutkan, kritik yang bersifat membangun tidak bisa disebut sebagai mom shaming meskipun cara penyampaiannya terkesan menghakimi.

“Dibutuhkan kepekaan dari sisi yang mendengarkan untuk menyaring omongan orang lain,” ujar Vera. Selain itu, Vera juga menyarankan untuk membaca raut wajah orang yang berbicara. Jika raut wajah menunjukkan rasa tidak suka, bisa jadi ucapan yang dilontarkan merupakan mom shaming.
Ucapan yang tergolong mom shaming umumnya punya ciri-ciri tertentu, di antaranya:
- Intonasi, gaya menulis, dan pemilihan kata terkesan menyudutkan dan menghakimi.
- Biasanya dilakukan di ranah umum (tapi bisa juga secara personal).
- Tujuannya ialah mempermalukan karena menganggap diri lebih baik.
Dalam survei yang dilakukan platform inspirasi gaya hidup dari Bukalapak, Bukareview, terhadap 208 ibu milennial, sebanyak 88 persen ibu pernah mengalami mom shaming.
Survei itu juga mengungkap mayoritas (38 persen) pelaku mom shaming justru merupakan saudara atau anggota keluarga. Sebanyak 18,5 persen menerimanya dari orangtua, sedangkan 17 persen di-mom shaming oleh mertua. Warganet (11,5 persen), teman atau rekan kerja (11 persen), tetangga (5 persen), dan suami (1,6 persen) juga disebut sebagai pihak yang acap melakukan mom shaming.
Mengenai topik yang menjadi bahan mom shaming, hampir separuh responden (49 persen) mengaku dikritik untuk urusan cara mendidik atau disiplin anak. Topik-topik lain yang bisa jadi mom shaming menurut survei, yakni cara merawat anak (34 persen), nutrisi dan makanan anak (33 persen), serta pilihan menggunakan jasa baby sitter, daycare, atau bantuan keluarga (32 persen). Selain itu, proses melahirkan caesar atau normal serta pilihan memberi ASI atau susu formula juga jadi topik mom shaming (8 persen). Topik lain yang juga kerap menyinggung ibu yakni mengenai perubahan fisik setelah melahirkan (8 persen).
BACA JUGA:
Ibu Jagoan Penyintas Postpartum Depression Inisiator Crystal Clear Moms
Dari survei tersebut juga diketahui bahwa banyak ibu yang menganggap mom shaming sebagai hal yang lumrah. Lebih dari 90 persen responden merasa mom shaming semakin marak terjadi. Mom shaming bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Pecakapan pribadi dinilai paling sering berisikan mom shaming (54 persen). Responden juga mengaku mengalami mom sahimng di ranah umum, seperti chat grup (32,7 persen), sedangkan 8 persen lainnya mengalami lewat komentar di media sosial.
Beberapa orang mungkin tak menyadari telah melakukan mom shaming. Kalimat yang dinilai biasa saja ternyata bisa menyakiti perasaan ibu lain yang mendengarnya. Hal itu berdampak pada kesehatan mental ibu. Korban mom shaming akan mengalami kecemasan berlebih dan tidak percaya diri terhadap kemampuannya dalam mengurus anak. Korban juga akan menyalahkan diri sendiri tentang pola asuh yang diambil, hingga menganggap dirinya tidak pantas disebut ibu.

Lebih jauh, Vera mengatakan mom shaming bisa berefek panjang. Ibu juga rentan merasa terisolasi, merasa dirinya salah, dan tidak ada yang mendukungnya. “Efek mom shaming bisa membekas lama, makanya harus cepat diatasi agar ibu tidak sampai depresi,” tegasnya.
Bagi pelaku mom shaming, khususnya yang memang berniat untuk menghakimi atau mempermalukan, menjadi seorang ibu dilihat seperti ajang perlombaan untuk menunjukkan siapa yang paling baik dan paling benar.
Padahal, kenyataannya, menjadi ibu bukan tentang siapa yang benar dan salah. Menjadi ibu merupakan sebuah proses berkembang dan belajar bersama. Setiap ibu punya pengalaman, kesulitan, dan kebutuhan yang berbeda.
Di saat yang sama, kehadiran media sosial malah memperburuk fenomena mom shaming. Siapa saja bisa jadi melontarkan kritik sambil bersembunyi di balik akun anonim. Beberapa influencer parenting seperti Gadis Sadiqah, Rahne Putri, dan Annisa Steviani pun pernah mengalaminya. “Saat pertama jadi ibu, tadinya mau curhat kondisi, malah diwejangi macam-macam. Saya lagi capai, jadinya malah makin down,” kata Rahne.(dwi)
Bagikan
Berita Terkait
Bunda, Coba deh Lavender & Chamomile untuk Tenangkan Bayi Rewel secara Alami

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Liburan Bersama Anak di Kolam Renang: Seru, Sehat, dan Penuh Manfaat

Tak hanya Melarang Roblox, Pemerintah Dituntut Lakukan Reformasi Literasi Digital untuk Anak-Anak

Tak Melulu Negatif, Roblox Tawarkan Manfaat Pengembangan Kreavitas untuk Pemain

Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres

Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya

Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui

Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental

Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
