Selandia Baru Beri Sanksi Bagi Petinggi Militer Myanmar

Rabu, 10 Februari 2021 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Pemerintah Selandia Baru menutup dialog tingkat tinggi dengan junta militer dan melarang pimpinan militer Myanmar masuk negaranya, setelah adanya kudeta dan menahan para pemimpin politik sipil pendukung Aung San Suu Kyi.

"Kami mengirim pesan tegas bahwa kami akan melakukan apapun dari sini di Selandia Baru dan salah satunya adalah menghentikan dialog tingkat tinggi. Serta memastikan dana bantuan yang kami berikan ke Myanmar tidak mendukung rezim militer," kata Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, Selasa (9/2).

Baca Juga:

Ini Kata Bank Dunia Soal Kudeta Myanmar

PM Ardern mengatakan, Selandia Baru akan memastikan program-program bantuannya tidak melibatkan dan menguntungkan pemerintah junta militer Myanmar. Setidaknya ada sekitar USD42 juta dolar Selandia Baru, yang diberikan oleh Wellington ke Naypyitaw dalam kurun waktu 2018 sampai 2021.

"Selandia Baru tidak mengakui pemerintahan militer dan meminta otoritas junta militer untuk segera membebaskan seluruh tahanan politik, serta memulihkan pemerintahan sipil di Myanmar," kata Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta dalam pernyataan tertulisnya.

Pemerintah Selandia Baru telah menyetujui larangan masuk dan larangan perjalanan bagi pimpinan militer di Myanmar. Ketentuan itu akan ditetapkan pada beberapa minggu ke depan.

Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, berjanji akan menggelar pemilihan umum yang baru dan menyerahkan kekuasaan ke pemenang pemilu. Pengumuman itu disampaikan Hlaing untuk menenangkan massa yang berunjuk rasa memprotes kudeta militer.

Aung San Suu Kyi dan Presiden Jokowi. (Foto: Seketariat Presiden)
Aung San Suu Kyi dan Presiden Jokowi. (Foto: Seketariat Presiden)

Sementara itu, massa penentang kudeta militer Myanmar berjanji akan terus menggelar aksi unjuk rasa damai, meskipun otoritas setempat melarang adanya acara kumpul-kumpul dalam jumlah besar, serta memberlakukan jam malam, dan menutup jalan-jalan utama.

Ribuan warga Myanmar, termasuk tenaga kesehatan, pegawai negeri, dan buruh pabrik, turun ke jalan beberapa hari setelah militer mengkudeta pemerintah yang terpilih secara demokratis pada 1 Februari 2021.

Kudeta militer dan penangkapan penasihat negara Aung San Suu Kyi mendorong massa menggelar unjuk rasa serta melakukan aksi pembangkangan sipil yang berdampak pada layanan di rumah sakit, sekolah, serta kantor-kantor pemerintah di Myanmar, negara dengan populasi 53 juta jiwa.

Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah, Senin minggu lalu (1/2), dan menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi.

Tidak lama setelah kudeta, militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.

Militer Myanmar, lewat pernyataan resmi yang dibacakan oleh Myawaddy Television (MWD) pada 1 Februari, mengatakan, status darurat ditetapkan untuk mencegah perpecahan antarkelompok masyarakat sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Menurut otoritas militer, pemerintah gagal menyelesaikan sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020. Walaupun demikian, klaim tersebut ditolak oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi di Myanmar karena jenderal saat ini akan memasuki pensiun dalam 5 bulan. (*)

Baca Juga:

Bungkam Protes Antikudeta, Myanmar Perluas Pembatasan Internet

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan