Sejarah Raja Nusantara Merindu Kakbah
Rabu, 30 Agustus 2017 -
MENGUNJUNGI tanah suci dan bergelar haji, menjadi impian setiap muslim di seluruh dunia. Tak kecuali para raja Nusantara.
Perjalanan panjang sejarah perjalanan haji, baik dilakukan para raja maupun orang-orang Nusantara, menjadi bekal penting untuk mempelajari beberapa aspek perjalanan haji di masa lampau.
Bukan perkara mudah melakukan perjalanan haji di masa lalu. Beragam persoalan seperti masalah transportasi dan kesehatan, administrasi, kebijakan kolonial, spektrum politik, hingga berkaitan dengan hal-hal takhayul serta mitos, menjadi problema khas.
Setelah para raja memeluk Islam, diawali Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai, memerintah pada paruh kedua abad 13, terdapat gejala baru menganggap “Mekkah sebagai sumber kekuasaan politik dan keagamaan,” tulis Henri Chambert Loir dkk, Naik Haji di Masa Silam; Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964.
Meski pada paruh pertama abad 17, menurut Anthony Reid pada Asia Tenggar dalam Kurun Niaga1450-1680, terdapat kecenderungan umum para raja dan kerabat untuk naik haji ke Mekkah, namun tak ada satu pun raja berhasil berjumpa Kakbah.
Bahkan, kerabat raja, lanjut Chambert Loir, hanya dua orang mampu melakukan perjalanan haji. Mereka adalah Pangeran Arya Ranamanggala, seorang wali Sultan Abdul Kadir Banten, dan Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Pontianak, menurut catatan Snouck Hurgronje dalam Mekka in the Latter Part of the 19th Century, berhasil menjalankan ibadah haji. “Ini 200 tahun setelah Sultan Abdul Qahar, dan ini rupanya satu-satunya sultan di Nusantara yang pernah naik haji sepanjang sejarah,” tulis Chambert Loir.
Mengapa para raja Nusantara bisa dihitung jari mampu melaksanakan ibadah haji, meski mereka sangat mendamba mencium Kakbah? Bagaimana seluk-beluk permasalahannya? Siapa saja raja Nusantara bergelar haji?
Ingin tahu lebih lanjut?
Simak laporan khusus sejarah haji bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji tahun 2017, di rubrik Indonesiaku.