RUU Cipta Kerja Bakal Bikin Susah Pekerja
Rabu, 19 Agustus 2020 -
MerahPutih.com - Pemerintah dan DPR RI harus mengkaji ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah dalam Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker. Aturan ini diyakin para penantangnya hanya mengungtungkan segelintir orang.
Amnesty Internasional Indonesia pun menilai, RUU Ciptaker, baik proses legislatif maupun substansi-nya, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM, terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.
“RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Rabu (19/8).
Baca Juga:
Bola Panas RUU Cipta Kerja Ada di Tangan DPR
Ia mengatakan, Amnesty Internasional Indonesia telah melakukan kajian terkait omnibus law. Kajian tersebut dilakukan sejak Maret 2020. Hasilnya, terdapat tujuh pasal yang dianggap bermasalah dan rawan bagi eksistensi pekerja.
Tujuh pasal tersebut berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan yang termaktub dalam BAB IV draf RUU Cipta Kerja.
Pertama, RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pencabutan ini menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara, jangka waktu perpanjangan maksimum, dan kondisi lain.
Kedua, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 77A, yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur atau overtime untuk sektor tertentu. Jumlah kompensasi untuk jam kerja ekstra tersebut ditentukan pemberi kerja melalui skema masa kerja dan bukan tatif yang ditetapkan pemerintah.
Ketiga, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88C, yang menghapuskan upah minimum kota/kabupaten (UMK), sebagai salah satu dasar upah minimum bagi pekerja. Ketentuan ini akan memukul rata standar upah minimum di semua kota dalam satu provinsi. Dengan skema itu, maka aturan tersebut berisiko menurunkan upah pekerja.

Keempat, RUU Cipta Kerja mengubah rumus penghitungan upah minimum dalam Pasal 88D dengan menghilangkan tingkat inflasi yang sebelumnya diperhitungkan dalam perhitungan upah minimum. Sedangkan, tingkat inflasi secara langsung mempengaruhi biaya hidup dan daya beli pekerja.
Kelima, RUU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88B, yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar perhitungan upah melalui sistem upah per satuan.
Keenam, RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti berbayar yang tertuang dalam Pasal 93 (2) UU Ketenagakerjaan. Amendemen ini meniadakan beberapa bentuk cuti berbayar. Misalnya, cuti haid, cuti orang tua, dan hari raya keagamaan. Termasuk cuti untuk acara keluarga yang meliputi pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga.
Ketujuh, RUU Cipta kerja menghapus Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan. Perubahan tersebut meniadakan kewajiban bagi pengusaha untuk membayar pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya setumpul pasal bermasalah tersebut, pihaknya pun mendesak Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR agar memastikan peraturan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.
"Presiden dan DPR harus memastikan, bahwa peraturan pemerintah yang mengatur tentang hal-hal teknis yang berkaitan dengan hak-hak pekerja sesuai dengan standar HAM internasional. Adapun hak-hak pekerja tersebut meliputi hak upah minimum, jam kerja, hingga hari istirahat," katanya.

Sementara itu, KSPI berencana menggelar aksi puluhan ribu buruh di DPR dan Kantor Kemenko Perekonomian pada 25 Agustus. Aksi serupa juga serentak akan dilakukan di 20 provinsi dengan dua isu utama, yaitu tolak omnibus law dan hentikan pemutusan hubungan kerja.
"KSPI mendukung kebijakan untuk mempermudah keberadaan investasi. Tapi harus ada perlindungan bagi kaum buruh," kata Said..
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, sudah ada tim perumus yang akan bekerja menemukan solusi terkait pasal-pasal yang masih dianggap bermasalah. Tim Perumus akan dipimpin oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya dan bekerja selama dua hari, pada 20 sampai 21 Agustus 2020.
“Mudah-mudahan tercapai titik temu dan solusi-solusi terhadap berbagai pasal tersebut,” kata Dasco usai menerima Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/8). (Knu)
Baca Juga: