Pergub Kerap Jadi Macan Ompong, Perda PSBB DKI Mendesak Diterbitkan
Senin, 21 September 2020 -
MerahPutih.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai dasar hukum untuk menanggulangi penyebaran virus corona (COVID-19).
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai, Perda PSBB mendesak diterbitkan.
Pasalnya, tiga peraturan gubernur (pergub) yang mendasari PSBB dianggap lemah dari sisi penegakan hukum dan sanksi.
Baca Juga:
Tak Pernah Diajak Musyawarah, DPRD DKI Bakal Buat Perda PSBB
"Sementara sanksi dalam sistem hukum di Indonesia itu yang bisa menyalurkan sanksi kuat adalah undang-undang, perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang), atau perda," kata Trubus kepada wartawan yang dikutip di Jakarta, Senin (21/9).
Menurut dia, PSBB di bawah payung hukum Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 mengandung konsekuensi hukum yang tegas melalui perda.
Namun, Trubus menyebut banyak kepala daerah tak mau repot menerbitkan perda. Pasalnya, peraturan kepala daerah seperti pergub dan peraturan bupati (perbup) lebih cepat diterbitkan.
"Tetapi persoalannya ketika di dalamnya mengandung sanksi. Itu tentu jadi lemah, enggak bisa dianggap sebagai sebuah aturan yang terus menerus," kata dia.
Selain itu, pengetatan kembali, berdampak pada ekonomi warga.
"Daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga dalam kondisi yang merosot tajam, terutama untuk menengah ke bawah. Kedua, banyak terjadi PHK,” kata dia.
Trubus mengatakan, pengetatan aktivitas sosial-ekonomi bukan solusi yang baik. Alasannya, semua wilayah Jakarta, termasuk daerah penyangga, sudah zona merah penularan COVID-19.
Menurut dia, yang terpenting adalah pengawasan terhadap protokol kesehatan.
"Kedua, penegakan hukum. Yang melanggar diberi sanksi tegas," kata dia.
Baca Juga:
Trubus menjelaskan, usaha Anies dalam menekan angka penularan COVID-19 masih setengah hati.
Termasuk, kata dia, kegiatan penghormatan terakhir kepada Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah yang wafat karena COVIS-19 di Balai Kota pada Rabu (16/9).
"Masyarakat kecil di bawah dikejar-kejar, tapi elite-elitenya enggak. Jadi menurut saya, kalau kita berharap untuk memutuskan mata rantai, saya kira impossible," tutur Trubus. (Knu)
Baca Juga:
Jakarta PSBB Lagi, Daihatsu Batasi Karyawannya Kerja di Kantor