Minta Tak Pedulikan Protes AS, Ekonom Sebut QRIS Jadi Pendorong Ekonomi Digital
Jumat, 25 April 2025 -
MerahPutih.com - Pemerintah Indonesia memiliki alasan kuat untuk mempertahankan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Pernyataan ini merespons pemerintah Amerika Serikat yang menilai QRIS sebagai salah satu hambatan perdagangan.
Menurut Ekonom, Achmad Nur Hidayat, QRIS bukan sekadar teknologi pembayaran berbasis kode QR, tetapi juga merupakan infrastruktur publik digital yang menyatukan berbagai metode pembayaran elektronik agar kompatibel secara nasional.
“QRIS telah menjadi salah satu katalis penting dalam mendorong ekonomi digital yang inklusif,” kata Achmad kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/4).
Baca juga:
AS Kritik QRIS-GPN, Legislator Demokrat Dorong Pemerintah Tegakkan Prinsip Kedaulatan Digital
Achmad mengatakan, sebelum ada QRIS, transaksi yang menggunakan jaringan internasional sering kali dikenakan biaya tinggi karena harus melalui switching luar negeri. Hal ini memberatkan konsumen serta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Kehadiran QRIS menekan biaya transaksi, sehingga semakin banyak pelaku usaha informal dapat bergabung ke ekosistem keuangan digital,” jelas Achmad.
Achmad menilai, ada paradoks dalam pernyataan AS tentang QRIS. Sebab, di satu sisi negara itu ingin ada integrasi sistem dengan negara lain. Namun, di sisi yang lain mereka enggan menyesuaikan diri dengan standar lokal.
Dibanding memaksa Indonesia mengadopsi standar global, Achmad meminta perusahaan asing bisa berinovasi agar layanannya selaras dengan QRIS.
Baca juga:
Penggunaan QRIS dan GPN Bukti Kedaulatan Ekonomi Indonesia, DPR: Banyak Bantu Usaha Kecil
“Justru ketidakmampuan beradaptasi dengan kebijakan lokal yang menjadi akar masalah,” kata dia.
Keluhan AS soal QRIS tertuang dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025.
Pada dokumen itu, United States Trade Representative (USTR) menyebutkan, bahwa bank dan perusahaan penyedia jasa pembayaran asal Amerika Serikat merasa tidak dilibatkan saat Bank Indonesia membuat kebijakan mengenai QRIS. (knu)