Mengembangkan Kafe di Perdesaan

Rabu, 21 Juli 2021 - Dwi Astarini

SIAPA bilang kafe tidak bisa berkembang di perdesaan? Andri Bastian Suherman, alumnus jurusan ilmu komunikasi FISIP Universitas Pasundan justru membuka kafenya di perdesaan. Tepatnya di Desa Sukapura, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur.

Berawal dari hobi kuliner semasa kuliah, Andri kini mampu mengembangkan kafenya di desa sebagai bisnis potensial. Di daerah tersebut, belum ada tempat nongkrong untuk anak muda, sedangkan akses menuju kota terbilang jauh.

“Di Bandung dan kota-kota besar sudah menjamur sekali kafe yang interiornya bagus dan nyaman. Namun di sini jarang, bahkan tidak ada. Saat melihat peluang itu, saya terpikir untuk membuka kafe. Memfasilitasi berbagai kalangan agar tidak perlu jauh-jauh ke kota untuk sekadar nongkrong,” katanya, Sabtu (17/7).

BACA JUGA:

Terancam Tutup, Museum Ghibli Sempat Minta Donasi

Kafe itu diberi Waroeng Baceprot. Nama baceprot diambil dari bahasa Sunda yang artinya bicara. Sebagai lulusan ilmu komunikasi, ia ingin konsumen yang datang ke kedainya untuk berinteraksi dan meramaikan suasana.

“Baceprot sebenarnya pelesetan dari bahasa yang saya gunakan untuk mengobrol dengan teman-teman di Bandung. Arahnya tentu lebih ke komunikasi, karena tidak mungkin konsumen berkunjung tanpa melakukan interaksi,” tuturnya.

Andri Waroeng Baceprot sejak 2018. Facebook dipilih sebagai media promosi kafe ini. Masyarakat ternyata sangat antusias dengan keberadaan Waroeng Baceprot.

Andri menjelaskan, berbeda dengan masyarakat di perkotaan yang mayoritas sudah beralih ke Instagram, di perdesaan, 90 persen warga menggunakan Facebook.

“Oleh karena itu, saya galakkan promosi di Facebook dengan highlight penataan tempat yang cozy, estetik, dan berkonsep inovatif,” tambahnya.

kafe baceprot


Interior Waroeng Baceprot di pedesaan Cianjur milik Andri Bastian Suherman. (Foto: Dok. Waroeng Baceprot)

Kafenya menawarkan ragam olahan kopi sebagai menu andalan. Harga yang dipatok juga terjangkau, mulai dari Rp 10 ribu - Rp25 ribu. Kendati demikian, bahan baku yang digunakan tetap berkualitas untuk menjaga cita rasa.

Konsumen yang merupakan warga perdesaan bahkan kurang familier dengan nama menu di kafe Andri. Menu-menu yang dianggap biasa di kota justru menarik bagi mereka. Menurut Andri, ketimbang menu dengan tampilan dan komposisi bahan, konsumen di desa jauh lebih tertarik dengan menu yang porsinya banyak.

Bagi Andri, bisnis tidak hanya soal menghasilkan keuntungan. Lebih daripada itu, ia bersyukur bisa membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda di daerahnya sekaligus membangun desa melalui inovasi-inovasi yang sejalan dengan pola pikir milennial.

“Prinsip saya, putra daerah kalau tidak menetap di kota, pasti akan pulang ke tempat asalnya. Ini yang menjadi acuan saya. Kira-kira apa yang bisa saya berikan dan menjadi manfaat untuk tempat kelahiran saya. Alhamdulillah, dengan keyakinan yang matang, saya bisa mempekerjakan tiga orang karyawan dan Insya Allah ada rencana untuk membuka booth atau cabang di kecamatan lain,” ujarnya.

Andri mengajak milennial yang mempunyai passion untuk tidak ragu memulai bisnisnya. Buktinya, bermula dari hobi, ia bisa membuka kafe dan mengembangkan potensi desanya.

“Teman-teman yang memiliki hobi atau passion di bidang tertentu, punya konsep, strategi, inovasi, dan bisa melihat peluang, jangan takut untuk memulai. Kalau hanya berandai-andai, kapan mau mulai?” katanya.

Ia mengaku sambil berjalan sambil terus belajar berkembang. “Risiko pasti ada, yang penting jalani saja dulu dan jangan setengah-setengah. Wujudkan ekspektasi kalian,” katanya.(*)

>

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Pilihan Editor

Bagikan