Menanti Nyanyian Setya Novanto
Kamis, 11 Januari 2018 -
MerahPutih.com - Ketua DPR nonaktif Setya Novanto secara resmi telah mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu ingin agar kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun terang benderang.
Kuasa hukum Setnov, Firman Wijaya membenarkan, kliennya mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk membongkar pelaku lain dalam proyek yang dibiayai APBN senilai Rp 5,9 triliun itu.
"Iya saksi pelaku bekerjasama lah. Pastilah akan mengungkap (pelaku lain)," ujar Firman saat dimintai konfirmasi, Rabu (10/1).
Justice collaborator adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui perbuatannya, namun bukan sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut. Dengan menjadi justice collaborator, seorang terdakwa nantinya bisa mendapat pertimbangan dari majelis hakim, semisal keringanan hukuman.
Nyanyian Setya Novanto dipastikan akan membuat gaduh situasi di dalam negeri. Dalam dakwaan, Jaksa KPK menyebut aliran dana puluhan hingga ratusan miliar mengalir ke sejumlah anggota DPR, pejabat di Kemendagri, pengusaha pemenang proyek hingga partai politik.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto yang telah divonis, masing-masing 7 dan 5 tahun menyebut aliran dana puluhan hingga ratusan miliar mengalir ke sejumlah anggota DPR, pejabat di Kemendagri, pengusaha pemenang proyek hingga partai politik.
Dalam dakwaannya, Jaksa KPK menyebut Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum sebesar US$ 5,5 juta, mantan Ketua Badan Anggaran DPR, Melchias Marchus Mekeng senilai US$ 1,4 juta, mantan wakil Ketua Banggar DPR, Olly Dondokambey senilai US$ 1,2 juta, mantan Wakil Ketua Banggar DPR, Mirwan Amir senilai US$ 1,2 juta dan mantan Wakil Bangar DPR Tamsil Linrung senilai US$ 700 juta.
Selanjutnya anggota Komisi II DPR RI, Arief Wibowo senilai US$ 108 ribu, mantan Ketua Komisi II DPR, Chairuman Harahap US$ 584 ribu, mantan anggota Komisi II DPR RI yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo senilai US$ 520 ribu, mantan Ketua komisi II Agun Gunanjar Sudarsa menerima US$ 1.047.000.
Mustoko Weni senilai US$ 408 ribu, mendiang Ignatius Mulyono senilai US4 258 ribu dan Taufiq Effendi sebesar US$ 103 ribu. Teguh Juwarno menerima sejumlah US$ 167 ribu, Miryam S Haryani sejumlah US$ 23 ribu.
Nama lainnya adalah Rindoko, Numan Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku ketua kelompok Komisi II DPR RI saat itu, masing-masing senilai US$ 37 ribu.
Suap proyek e-KTP juga mengalir kepada anggota Komisi II yang kini menjabat Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly senilai US$ 84 ribu.
Markus Nari kebagian Rp 4 miliar, Khatibul Umam Wiranu US$ 400 ribu, mantan Ketua Fraksi Demokrat Djafar Hafsah US$ 100 ribu, anggota DPR Ade Komaruddin US$ 100 ribu dan mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie sebesar Rp 20 miliar.
Adapun dari pihak swasta, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Setya Novanto bersama Andi Narogong, Sugiharto dan Irman diduga menerima dana korupsi pengadaan e-KTP. Andi Narogong sendiri telah divonis bersalah dengan hukuman penjara 8 tahun.
Dalam surat dakwaan, Jaksa menyebut mantan Bendahara Umum Partai Golkar tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang serta jasa proyek e-KTP.
Setya Novanto didakwa telah memperkaya diri sendiri dan orang lain dalam kasus e-KTP. Atas perbuatannya tersebut, negara rugi sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dalam proyek pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 itu.
Atas perbuatannya, Setya Novanto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)