Kenang Perjuangan Pangeran Diponegoro di Makassar
Jumat, 26 Januari 2018 -
SELAIN Sultan Hasanuddin, nama Pangeran Diponegoro juga tak kalah harum di Makassar, Sulawesi Selatan. Untuk mengenang jasanya melawan kolonial Belanda, sebuah nama jalan disematkan kepada sosok yang merupakan anak Raja Kesultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwana III (1810-1811 dan 1812-1814) tersebut. Tidak hanya itu, di jalan tersebut juga terdapat sebuah makam yang tidak lain tempat peristirahatan Pangeran Diponegoro.
Berdasarkan pantauan Merahputih.com, kompleks pemakaman Pangeran Diponegoro tak seperti kompleks makam lainnya. Areal makam tersebut tidak terlalu luas. Letaknya menyempil di tengah-tengah wilayah yang padat dengan bangunan pertokoan dan permukiman penduduk.
Dalam kompleks pemakaman tersebut, jenazah sang pangeran dimakamkan bersama salah satu istrinya RA Ratu Ratna Ningsih, putra-putri, cucu, dan para pengikut serta kerabatnya. Ada sekitar 100 kuburan di dalam kompleks pemakaman itu.

Di belakang bangunan makam, berdiri musala kecil dan sebuah pendopo yang memuat tempat duduk bersantai. Dalam pendopo ada beberapa lukisan Pangeran Diponegoro dipajang di dinding.
Juru kunci makam Raden Hamsyah Diponegoro menjelaskan, selain menyisakan jasad pahlawan, cerita tentang keberanian Pangeran Diponegoro pun terus terjaga dengan baik oleh masyarakat.
Makassar, kata Hamsyah, adalah tempat pengasingan terakhir Pangeran Diponegoro. Ia hidup dalam wilayah pengasingan di Makassar selama 21 tahun bersama salah satu istri, RA Ratu Ratna Ningsih dan beberapa anak cucunya.
Usai melakukan perang gerilya melawan Belanda dan pemerintahan Keraton Yogyakarta, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda.
"Kemudian dibawa ke Semarang, untuk dikiirm ke Batavia dan ditahan di Stadhuis van Batavia yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta di Taman Fatahillah pada 11 April-3 Mei 1830," kata Hamsyah yang merupakan keturunan generasi ke lima Pangeran Diponegoro di kompleks pemakaman Makassar, Sulsel, beberapa hari lalu.
Pangeran Diponegoro selanjutnya diasingkan ke Manado, berikutnya pada 1834 dipindahkan ke Benteng Fort Rotterdam, Makassar yang akhirnya wafat dan dimakamkan di sekitar benteng itu 8 Januari 1855. "Beliau tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa pun," katanya.
Hingga kini, makamnya tak pernah sepi. Hamsyah mengaku selalu saja dikunjungi tokoh-tokoh besar baik dari bidang politik, rohaniawan kalangan militer, pemerintahan maupun dari raja-raja dan kesultanan. (Teresa Ika)