DPR Desak Pemerintah Kaji Ulang Hubungan Bilateral dengan Tiongkok
Sabtu, 04 Januari 2020 -
MerahPutih.com - Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengatakan, Indonesia harus mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Tiongkok.
Ia mengatakan sikap Tiongkok yang tetap mengklaim perairan Natuna sebagai wilayahnya menunjukkan tidak adanya iktikad baik untuk menghormati kedaulatan Indonesia, setelah nota protes diplomatik dilayangkan ke negara itu.
Baca Juga
Kata Prabowo dan Luhut Soal Klaim Tiongkok atas Perairan Natuna
"Pemerintah harus mengkaji kembali hubungan bilateral RI dengan Tiongkok. Berbagai kerja sama bilateral yang sedang dibahas bisa saja kita tunda atau batalkan," ujarnya di Jakarta, Sabtu (4/1).
Bahkan, lanjut politikus PDI Perjuangan itu, Indonesia juga bisa menggalang negara-negara ASEAN untuk tidak berpartisipasi dalam inisiatif-inisiatif multilateral yang diinisiasi China di forum internasional.
Ia pun mendorong TNI dan penegak hukum tidak ragu untuk menegakkan kedaulatan negara. Segenap rakyat Indonesia pasti mendukung setiap upaya TNI dalam menjaga setiap jengkal wilayah kedaulatan NKRI dari penerobosan pihak asing.
"Perbanyak patroli dan pertebal kehadiran negara di perairan Natuna," sambungnya dilansir Antara

wakil ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR itu menegaskan, penerobosan kapal Penjaga Pantai China di perairan Natuna adalah pelanggaran terhadap ZEE Indonesia yang ditetapkan berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
"China sebagai pihak yang juga sudah meratifikasi UNCLOS seharusnya menghormati hal itu," ujar dia.
Menurut dia klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di Natuna tidak dikenal oleh UNCLOS dan juga pernah dimentahkan melalui putusan Permanent Court of Arbitration pada 2016.
Baca Juga
Kapal Perang Tiongkok Masuk Perairan Natuna, Begini Reaksi Pemerintah Indonesia
"Klaim sepihak 9 Garis Putus-putus (9 Dash Lines) oleh China tidak mempunyai dasar yuridis. Oleh karena itu, tidak ada ruang untuk kompromi atau negosiasi terkait kedaulatan teritorial Indonesia," pungkasnya. (*)