Beda Jumlah Angka Kemiskinan di Indonesia Versi BPS dan Bank Dunia, Ini Jawabannya!

Rabu, 11 Juni 2025 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Angka garis kemiskinan di Indonesia versi Bank Dunia mengalami lonjakan karena memasukan Indonesia pada negara berpendapatan menengah atas dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita berkisar USD 4.500 dolar hingga USD 14.000 AS.

Sementara PDB per kapita Indonesia sebesar USD 4.900 dolar. Meski masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, namun Indonesia berada pada ambang batas bawah standar kelompok tersebut.

Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengingatkan, perlu dimaknai secara berhati-hati agar tidak menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan dalam konteks nasional. Garis kemiskinan Bank Dunia memiliki tujuan utama untuk komparabilitas global, bukan untuk pengambilan kebijakan nasional langsung.

Bank Dunia menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) untuk menyesuaikan daya beli antarnegara. Sementara itu, dalam konteks nasional, telah ada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN) yang jauh lebih kontekstual dan sesuai dengan karakteristik konsumsi rumah tangga Indonesia.

Baca juga:

Jumlah Orang Miskin Versi Bank Dunia Naik, Indonesia Tetap Pakai Ukuran USD 3,65 bukan USD 6,85 Per Hari

Untuk komponen makanan, misalnya, BPS menggunakan standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori (kkal) per orang per hari dan memperhitungkan pola konsumsi aktual masyarakat, termasuk makanan pokok seperti beras. Dan juga memperhitungkan kebutuhan dasar non-makanan seperti pendidikan dan perumahan.

Sebagai akibat dari perbedaan tujuan dan metodologi ini, maka perbedaan hasil pun signifikan. Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen atau sekitar 24 juta jiwa.

Sementara menurut Bank Dunia, dengan garis kemiskinan USD 6,85 PPP per kapita per hari (menggunakan PPP 2017 atau sebelum revisi), sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 dianggap hidup di bawah standar kemiskinan menengah atas. Kesenjangan ini akan semakin besar dengan revisi ke USD 8,30 dolar (PPP 2021 untuk negara berpendapatan menengah atas).

Revisi Bank Dunia terhadap garis kemiskinan global yang kini mengadopsi PPP 2021 merupakan langkah penting untuk mencerminkan realitas daya beli yang lebih mutakhir, berdasarkan hasil International Comparison Program (ICP) 2021.

Revisi ini tidak mengubah metodologi perhitungan, namun memperbarui basis data harga dan garis kemiskinan nasional dari 163 negara, termasuk Indonesia, untuk memberikan gambaran yang lebih akurat terhadap tingkat kemiskinan global.

Josua memandang bahwa evaluasi terhadap standar garis kemiskinan nasional tetap relevan, namun tidak perlu serta-merta mengadopsi standar global Bank Dunia. Salah satu alasannya, jelas dia, metodologi BPS berdasarkan data aktual dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencerminkan kebutuhan minimum riil masyarakat di setiap provinsi, termasuk variasi harga dan konsumsi rumah tangga di daerah perkotaan dan perdesaan.

Alasan kedua, garis kemiskinan BPS telah naik dari Rp 582.932 per kapita (Maret 2024) menjadi Rp 595.242 per kapita (September 2024), mengikuti inflasi harga kebutuhan dasar. Kemudian, menaikkan garis kemiskinan secara drastis ke tingkat global dapat menggandakan jumlah penduduk miskin secara statistik, yang akan menimbulkan tekanan besar terhadap anggaran sosial tanpa jaminan efektivitas intervensi yang proporsional.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan Indonesia perlu mengadopsi pendekatan Bank Dunia dalam mengukur tingkat kemiskinan.

"Salah satu solusi yang mungkin adalah menaikkan secara gradual, menuju standar Bank Dunia saat PDB per kapita kita mendekati USD 9.500 AS mendekati median negara berpendapatan menengah atas, misalnya," ujar Wijayanto dikutip Antara.(*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan