Beda Greenflation dengan Greedflation dan Salah Kaprah Demo Rompi Kuning

Rabu, 24 Januari 2024 - Wisnu Cipto

MerahPutih.com - Istilah greenflation (green inflation) atau Inflasi Hijau sempat hangat diperbincangkan usai debat kedua calon wakil presiden (cawapres) pada Minggu (21/1) lalu. Meskipun bukan istilah baru, tapi pembahasan greenflation sempat membuat debat cawapres saat itu berlangsung "hangat". Bahkan, hingga hari ini masih banyak publik yang mencari tahu arti dari greenflation.

Greenflation merupakan singkatan dari dua kata yakni green (hijau) dan inflation (inflasi). Secara singkat, Green inflation sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.

Baca Juga:

Gibran Janji Buka 19 Juta Lapangan Kerja, Porsi Green Jobs 5 Juta

"Kenaikan harga dan krisis tenaga kerja yang terjadi seiring dengan transisi ramah lingkungan," kata Direktur Executive European Central Bank Isabel Schnabel tentang definisi greenflation, yang dipublikasikan Bank Sentral Eropa berjudul "A new age of energy inflation: climateflation, fossilflation and greenflation".

Menurut Isabel, sejauh ini, dampak inflasi hijau terhadap harga konsumen akhir jauh lebih kecil dibandingkan fossilflation. "Oleh karena itu, sangatlah menyesatkan untuk mengklaim bahwa penghijauan perekonomian kita adalah penyebab tingginya kenaikan harga-harga energi."

Definisi Isabel itu sejalan dengan yang disampaikan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan. Menurut dia, greeninflation adalah konsekuensi dari inisiatif global menuju net-zero emission, untuk menahan pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius, sesuai Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada 2016 silam.

"Green inflation adalah istilah inflasi yang dipicu oleh transisi energi dari fossil ke renewable (terbarukan), karena biaya investasi untuk green technology jauh lebih mahal dari teknologi fossil, karena harga bahan baku untuk produksi energi hijau akhir-akhir ini meningkat tajam, dipicu oleh supply yang relatif sangat terbatas dibandingkan permintaan: memicu inflasi," tuls Anthony, dalam rilis yang dikutip, Rabu (24/1).

Baca Juga:

Bawa-Bawa Nama Mahfud MD, Gibran Sindir Cak Imin Masih Pakai Botol Plastik

Transisi ramah lingkungan sebagian besar akan melibatkan perubahan metode produksi. Untuk menghasilkan produksi yang "hijau", modal produksi perlu diganti dengan yang lebih sedikit menghasilkan emisi, tetapi konsekuensinya lebih mahal. Apalagi, beberapa mineral untuk mengembangkan industri "net zero" tersedia dalam jumlah terbatas. Bahan mineral 'langka' itu misalnya lithium untuk bahan baku baterai

Badan Energi Internasional mencatat, total permintaan mineral untuk menghasilkan teknologi rendah karbon diperkirakan meningkat empat kali lipat pada tahun 2040 dengan asumsi bahwa tujuan Perjanjian Paris tercapai. Khusus lithium, misalnya, permintaannya diperkirakan akan meningkat empat kali lipat antara tahun 2025 dan 2035. Data hingga 2022, sekitar 91% lithium hanya diproduksi tiga negara Australia, Chili, dan China.

'Kelangkaan' lithium tentunya berpotensi harganya melambung di pasar dunia. Alhasil ketika sebuah negara ingin menghapus kendaraan berbahan bakar fosil (BBM) beralih ke tenaga baterai yang lebih ramah lingkungan berdampak pada pengeluaran biaya yang lebih besar karena dipicu kenaikan harga bahan baku.

Kondisi kenaikan harga bahan baku lithium dan biaya yang lebih mahal ketika beralih ke kendaraan berbasis baterai listrik itu setidaknya bisa menjadi contoh ilutrasi dari yang dimaksud dengan greenflation.

Penampilan Cawapres Gibran Rakabuming Raka saat debat keempat Pilpres 2024, Minggu (21/1/2024). (ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat)

Demo Rompi Kuning

Terkait contoh greenflation yang disampaikan Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka saat debat tentang memicu demo rompi kuning di Prancis, Anthony menilai kurang tepat. Pertama, lanjut dia, penyebab utama protes demo rompi kuning yang berawal sejak 2018 itu tidak ada hubungannya dengan green energy atau green inflation.

"Tetapi lebih disebabkan karena kelangkaan minyak mentah dunia, kenaikan harga BBM, kenaikan pajak BBM fosil (green tax), pengetatan anggaran pemerintah, penghapusan pajak kekayaan, konflik antar kelas, dan protes melawan neoliberalisme," ujar dia.

Baca Juga:

Debat Cawapres, Cak Imin ke Gibran: Ini Bukan Debat Anak SMP

Kenaikan harga BBM, lanjut Anthony, ditambah kenaikan pajak BBM, membuat ekonomi kelompok masyarakat bawah bertambah susah karena porsi pengeluaran untuk BBM mencapai lebih dari 15 persen dari total pengeluaran.

"Maka itu terjadi protes. Masyarakat menuntut kenaikan upah minimum, penghapusan pajak BBM, dan moratorium kenaikan harga BBM," ujar dia, seraya menambahkan tuntutan massa akhirnya dipenuhi Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk meredam demo.

Sebaliknya, kata dia, demo rompi kuning Prancis lebih tepat dilihat dalam kacamata Greedflation, yakni istilah untuk kenaikan harga yang didorong ketamakan untuk keuntungan. Contoh Greedflation dapat diilustrasikan ketika perusahaan farmasi ramai-ramai menaikkan harga ketika terjadi kelangkaan dan naiknya kebutuhan obat saat pandemi COVID-19.

Dalam konteks demo rompi, lanjut dia, ketamakan itu terjadi ketika Macron memilih menaikkan pajak BBM ketika terjadi kelangkaan bukannya membuat kebijakan yang melindungi warganya.

"Artinya, demo rompi kuning bukan dipicu oleh, dan tidak ada hubungannya dengan, green inflation (greenflation), melainkan karena kebijakan ekonomi dan pajak yang memberatkan masyarakat kelompok bawah. Dengan kata lain, demo yellow vests adalah demo melawan ketidakadilan ekonomi," papar Anthony.

Mahfud MD di Debat Cawapres 2024 di JCC Senayan, Minggu (21/1). (Foto: Antara/M Risyal Hidayat)

Untuk mengatasi dampak greenflation ataupun Greedflation dibutuhkan adanya upaya perlindungan dari negara. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan perlindungan itu bisa berupa realokasi subsidi.

“Sebenarnya jawaban dari greenflation itu adalah realokasi subsidi dan insentif yang selama ini diberikan kepada sektor fosil. Itu seharusnya bisa digeser ke sektor yang lebih bersih sehingga tidak terjadi inflasi ketika terjadi transisi energi,” papar dia.

Oleh karenanya, ketika Cawapres nomor urut 03 Mahfud MD menjawab pertanyaan Gibran tentang Greenflation di debat kemarin masih sesuai konteks. Mahfud menjelaskan inflasi hijau berkaitan dengan ekonomi hijau atau ekonomi sirkuler. Sebuah proses pemanfaatan produk ekonomi pangan diproduksi kemudian dimanfaatkan kemudian di-recycle, jadi tidak dibiarkan mengganggu ekologi.

“Tapi, sirkular ekonomi juga berkaitan dengan greenflation. Yang mendorong sirkular ekonomi itu benar juga, kalau kita memberikan insentif ke yang lebih besar kepada ekonomi daur ulang, itu akan membuat barang daur ulang lebih murah,” tandas Bhima. (*)

Baca juga:

Gibran Sindir Cak Imin Nyontek Catatan saat Debat, TKN: Itu Candaan

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan