Upacara Kematian Pangulu Suku di Nagari Taluk


Sumatera Barat masih memiliki tradisi upacara kematian. (Foto: Unsplash/Adli Hadiyan Munif)
WILAYAH Nagari Taluk yang berada di Provinsi Sumatera Barat masih menjaga tradisinya. Para warga di sana memiliki tradisi Upacara kematian yang masih dilestarikan untuk menghormati para pendahulunya.
Nagari Taluk memiliki empat suku, yakni Patopang, Chaniago, Mandailiang, dan Piliang. Dari empat suku tersebut, masing-masing dipimpin oleh orang 4 Jiniah (Urang nan 4 jiniah) yaitu: pangulu, manti, malin, dan dubalang.
Baca Juga:
Seperti yang dirangkum dari berbagai sumber, Upacara kematian Pangulu suku mulai dilakukan setelah ada salah satu dari 4 jiniah meninggal dunia. Misalnya ada salah satu pangulu meninggal, maka informasi tersebut akan langsung disebar ke tiga pangulu lainnya.

Tak hanya pangulu, apabila ada manti yang meninggal, maka akan berlaku hal sama. Kabar meninggalnya manti dari salah satu suku akan diberitahukan kepada manti dari tiga suku lainnya. Begitu pula apabila ada malin dan dubalang yang meninggal, informasi tersebut juga akan langsung disebar ke suku lainnya.
Selain 4 jiniah lainnya, kabar meninggal salah satu pangulu juga akan diberitahukan ke tuo kampuang dalam sukunya. Setelah informasi tersebar secara menyeluruh ke semua suku, barulah semuanya pergi melayat.
Baca Juga:
Saat melayat, para jiniah dan tuo kampuang akan merundingkan dua hal penting, pertama ialah siapa penerus gelar (sako) orang yang meninggal tersebut. Mereka akan membicarakan siapa kemanakan dari pangulu suku yang pantas meneruskan gelar tersebut.
Selanjutnya, mereka akan mendiskusikan proses penyelenggaraan upacara kematian. Dimulai dari pandam kuburan (tempat pemakaman). Lalu dubalang bertanggung jawab terhadap proses menggali kuburan sampai jenazah selesai dimakamkan. Biaya tersebut setara dengan satu ekor kambing (diganti dengan uang). Biayanya juga mengikuti berapa pasaran harga kambing saat itu.

Semua diskusi ini dilakukan di rumah gadang. Setelah terjadi kesepakatan, dubalang akan memerintahkan sumando untuk membuat keranda (garai). Keranda tersebut mirip seperti balok tanpa atap dan terbuat dari bambu. Kemudian bambunya dipanjangkan agar mudah untuk mengangkatnya. Garai akan ditempatkan di depan rumah gadang.
Di tiap-tiap sudut garai juga dipasang tabir (tabigh), pakaian adat, kain sarung, kemudian payung yang di atasnya diberi kain berwarna merah (domok). Masing-masing sandangan garai dibalut dengan kain kafan. Setelahnya, jenazah yang sudah dimandikan dan dikafankan dimasukkan ke dalam garai. Kemenakan yang akan menjadi penerus gelar juga berdiri dalam garai tersebut.
Dalam proses membawa keranda, masing-masing suku akan mengangkat sandangan. Kemudian, secara serentak masing-masing suku mengangkatnya sampai kerandanya agak sedikit melambung di udara. Keranda selanjutnya dibawa ke tempat pemakaman, disalatkan, dan setelahnya disemayamkan seperti biasa. (ikh)
Baca Juga:
Kaparupuhan, Kematian pada Suku Baduy
Bagikan
Berita Terkait
Berwisata Murah Dengan Naik KA Batara Kresna, Nikmati Alam danKuliner Dari Purwosari Sampai Wonogiri

DPRD DKI Protes Tarif Buggy Wisata Malam Ragunan Rp 250 Ribu, Minta Dikaji Ulang

Wisata Malam Ragunan, DPRD Minta Pemprov DKI Sediakan Alternatif Angkutan Murah untuk Warga

7 Alasan Hijrah Trail Harus Masuk Bucket List Petualangan di Arab Saudi

Tahok dan Bubur Samin Solo Jadi Warisan Budaya tak Benda

Polisi Sediakan WA dan QR Code untuk Laporan Cepat Gangguan Keamanan Hingga Kerusakan Fasilitas Umum

Night at the Ragunan Zoo Dibuka Hari ini, Harga Tiket Masuknya Mulai Rp 3.000

WNA Pengguna Kereta Api di Indonesia Tembus Setengah Juta, Yogyakarta jadi Tujuan Paling Favorit

Makanan Halal Magnet Utama Pilihan Liburan Muslim Indonesia

Aji Mumpung Banget ini, Seoul Tawarkan Paket Wisata dengan Kelas Tari 'KPop Demon Hunters'
