Udara Buruk Picu ADHD pada Anak


dr Farhan Zubedi memaparkan bahayanya polusi udara terhadap perkembangan anak-anak. (foto: Merahputih.com/Kamila Putri)
KUALITAS udara menentukan kesehatan kita. Kualitas udara yang buruk bisa memicu berbagai permasalahan nan kompleks. Hal itu terungkap dalam bincang-bincang yang digelar dalam acara konferensi pers peluncuran Clean Air Zone di Mighty Minds Preschool, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/3).
Saat hadir sebagai pembicara, dr Farhan Zubedi, yang juga merupakan content creator di TikTok dan Instagram, berbagi pengetahuan tentang bahaya dari polusi udara PM2.5.
BACA JUGA:
PM2.5 adalah partikel udara yang memiliki ukuran sangat kecil yaitu kurang dari 2.5 mikrometer. Saking kecilnya, partikel ini dapat masuk ke alirah darah jika terhirup. “Kenapa PM2.5 sangat berbahaya? Ketika kita di luar ruangan, pembakaran dari kendaraan, dari pabrik, bahkan kadang-kadang kebakaran dari dalam rumah, misalnya asap dari kegiatan memasak atau bakar sampah, itu semua menghasilkan PM2.5 yang bisa menembus masker yang tidak tepat sehingga bisa masuk ke tubuh kita,” kata Farhan.

Awalnya PM2.5 akan masuk dan mengganggu hidung hingga tenggorokan. Lama-kelamaan, partikel tersebut dapat turun sampai ke cabang bronkus. Untuk para pengidap asma, terkena paparan PM2.5 bisa memicu serangan asma atau sesak napas. Namun, untuk orang-orang yang tidak memiliki riwayat asma, efeknya terjadi dalam jangka waktu yang panjang.
“Hal-hal seperti ini bisa menyebabkan infeksi saluran napas. Itu terjadinya tidak dalam jangka waktu cepat. Jadi kalau misal kita terpapar hari ini, mungkin ada beberapa orang yang memang memiliki penyakit asma dari kecil bisa terpicu ketika menghirup polutan PM2.5. Merka bisa tiba-tiba sesak napas. Namun, bagi oang-orang yang tidak memiliki pre-condition terhadap kesehatan ini, ya panjang bisa sampai berpuluh-puluh tahun,” jelasnya.
Selain orang yang mengidap sesak napas, lansia, dan anak-anak, ibu hamil juga dikategorikan sebagai kelompok rentan. Pada anak-anak, mereka menjadi rentan karena mereka masih dalam tahap perkembangan yang artinya fungsi organ-organ dalam tubuh mereka, seperti otak, paru-paru, dan jantung juga belum sepenuhnya berkembang.
BACA JUGA:
Mighty Minds Preschool Terapkan Sekolah dengan Clean Air Zone
Terlebih lagi, anak-anak lebih pendek daripada orang dewasa. Hal itu menjadi salah satu faktor penting mereka rentan lantaran densitas polusi di bawah lebih banyak. “Anak-anak lebih dekat dengan permukaan. Meski polutan-polutan ini di udara, pada akhirnya akan jatuh juga ke bawah. Anak-anak lebih pendek, jadi mereka juga bisa menghirup udara yang ada di permukaan, yang tentunya densitas dari polutannya lebih banyak daripada yang di atas,” imbuhnya.
Anak-anak yang terpapar PM2.5 bukan hanya dapat mengidap asma, tetapi juga Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Kondisi ini menyebabkan anak tidak bisa fokus dan impulsif. “Jadi, ternyata ada sebuah penelitian terkait PM2.5 dengan ADHD. Anak tidak bisa fokus, tidak bisa diam, maunya bergerak terus, dan selalu impulsif. Ini kenapa berbahaya? Sebenarnya, berbahayanya di perkembangannya karena dia tidak bisa fokus sehingga dia akan terganggu pembelajarannya,” jelas Farhan.
Maka dari itu, penting bagi orangtua untuk memerhatikan lingkungan di sekitar anak. Penggunaan air purifier dapat membantu mengurangi polusi udara, tetapi Farhan menyarankan untuk melakukan gerakan preventif sebelum gerakan mengurangi.

“Pencegahannya, pertama tidak merokok di dalam rumah. Jadi orangtua yang merokok sangat berbahaya untuk anak-anak. Kalau memasak memang disarankan UNICEF itu pakai kompor elektrik atau liquefied petroleum gas, tetapi di Indonesia mahal dan listrik bisa bengkak. Jadi yang bisa kita lakukan ialah kalau memasak ada banyak asap, pastikan ventilasi cukup agar asap tidak ada di dalam ruangan, dan pastikan anak-anak tidak berada di dalam ruangan itu,” sarannya.
Lebih jauh Farhan memberi saran, ketika membawa anak ke luar rumah, orangtua bisa mencari tahu apakah itu merupakan waktu yang tepat untuk anak berada di luar. Pastikan apakah memang polutan di luar sudah baik atau belum. "Kalau unhealthy atau hazardous, lebih baik jangan dibawa ke luar dan kalau bisa jangan sampai dibawa ke jalan yang ramai kendaraan," tutupnya.(kmp)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
