Serangan Migrain Meningkat di Masa Pandemi


Selama pandemi, ada peningkatan 70% serangan migrain. (123RF/mkitina4)
JUNI merupakan bulan kesadaran migrain dan sakit kepala dengan fokus tentang bagaimana serangan migrain telah meningkat selama pandemi.
Sebuah survei baru-baru ini oleh Headache and Migraine Policy Forum and Migraine Again di AS menyatakan ada peningkatan dramatis 70 persen dalam jumlah serangan selama pandemi. Sebanyak 84 persen mengalami lebih banyak stres dalam mencoba mengelola penyakit mereka.
Selain itu, ada 78 persen pasien migrain menggunakan telemedicine setelah awal pandemi yang menyoroti era baru perawatan. Dengan begitu, pasien tidak perlu melakukan apa-apa untuk dapat berkonsultasi dengan dokter di tengah serangan sakit kepala.
BACA JUGA:
"Migrain merupakan penyakit kedua yang paling melemahkan di seluruh dunia dan berdampak pada semua aspek kehidupan seseorang, menyebabkan tekanan emosional dan fisik yang signifikan. Begitu banyak orang dengan migrain hidup dalam ketakutan setiap hari karena mereka tidak tahu kapan serangan akan datang," kata Ketua National Headache Foundation's Patient Leadership Council AS, Jill Dehlin, RN yang juga merupakan penderita migrain.

Pihak National Headache Foundation juga mengumumkan temuan dari survei baru pada Mei lalu yang mencirikan pengalaman orang yang hidup dengan migrain dan menyoroti hambatan fisik dan emosional untuk perawatan pencegahan.
Survei menemukan setengah (50%) orang dengan migrain sangat tidak puas dengan kemampuan mereka saat ini untuk mengendalikan penyakit mereka dan melaporkan berbagai emosi sebagai akibatnya, termasuk frustrasi (39%), kelelahan (29%), stres (19%) dan kecemasan (15%).
Terlepas dari berbagai pilihan yang tersedia saat ini untuk mengobati dan mencegah migrain, kebanyakan orang dengan migrain masih belum dapat sepenuhnya mengendalikan penyakit mereka dan efek negatif serta perasaan yang menyertainya. Faktanya, sebagian besar responden (84%) yang saat ini menjalani pengobatan pencegahan berharap ada pilihan pengobatan yang lebih baik.

"Dalam survei ini, banyak orang melaporkan merasa mereka mengejar tujuan yang tidak dapat dicapai untuk mengendalikan penyakit migrain mereka, menyoroti perlunya pilihan pengobatan pencegahan baru, serta sumber daya untuk mendidik dan memberdayakan mereka untuk mengendalikan penyakit mereka," imbuh Jill Dehlin, seperti diberitakan Psychologytoday.com (2/6).
Migrain adalah penyakit yang melemahkan dan berulang yang ditandai dengan serangan yang berlangsung selama empat hingga 72 jam dengan beberapa gejala, termasuk sakit kepala berdenyut dengan intensitas nyeri sedang hingga berat yang dapat dikaitkan dengan mual atau muntah, dan/atau kepekaan terhadap suara (fonofobia) dan kepekaan terhadap cahaya (termasuk ketakutan dipotret). Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengklasifikasikan migrain sebagai salah satu dari 10 penyakit medis yang paling melumpuhkan.(aru)
Bagikan
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, Alasanya Tambah Jumlah Peserta Penerima Bantuan Iuran
