Rupiah Terpuruk, Bank Indonesia Siapkan Paket Kebijakan Penyesuaian Suku Bunga


Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
MerahPutih.Com - Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam beberapa hari ini mendorong Bank Indonesia mengambil kebijakan moneter yang tegas dan konsisten.
Hingga Rabu (9/5) kurs rupiah mencapai Rp14.073 per dolar AS. Nilai ini terhitung sebagai terendah sejak 2015. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menegaskan pihaknya sedang menyiapkan kebijakan moneter yang tegas, termasuk penyesuaian suku bunga kebijakan "7-day Reverse Repo Rate".
Dalam pernyataan resminya di Jakarta, Rabu malam, Agus mengatakan BI sedang menyusun kebijakan moneter secara tegas dan konsisten, termasuk melalui penyesuaian suku bunga acuan. Dia juga menegaskan kini penyesuaian suku bunga acuan akan diprioritaskan untuk stabilisasi.
"Bank Indonesia juga tengah mempersiapkan langkah kebijakan moneter yang tegas dan akan dilakukan secara konsisten, termasuk melalui penyesuaian suku bunga kebijakan 7-day Reverse Repo Rate dengan lebih memprioritaskan pada stabilisasi," ujar Agus.

Suku bunga acuan BI saat ini sebesar 4,25 persen. Sudah dalam sembilan kali Rapat Dewan Gubernur bulanan, BI mempertahankan suku bunga acuan tersebut dengan arah kebijakan moneter yang bersifat "netral" dan "akomodatif".
Dalam beberapa hari terakhir, rupiah menunjukkan tren depresiatif bahkan telah melewati level psikologis Rp14.000 per dolar AS. Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI pada Rabu ini, menunjukkan dolar dihargai Rp14.074 per dolar AS.
Sejak Januari hingga 8 Mei 2018, nilai tukar Rupiah melemah 3,44 persen (year to date). Namun, angka itu lebih baik dibandingkan Peso Filipina yang melemah 3,72 persen, Rupee India 4,76 persen, Real Brasil 6,83 persen, Rubel Rusia 8,93 persen, dan Lira Turki 11,51 persen.
Agus sebagaimana dilansir Antara mengatakan pelemahan rupiah karena menguatnya dolar AS secara luas terhadap seluruh mata uang, sehubungan dengan semakin solidnya ekonomi AS di tengah lambatnya pemulihan ekonomi di berbagai kawasan.

"Tekanan pada nilai tukar mata uang negara-negara maju lainnya juga besar. Indonesia telah mengalami beberapa tekanan yang cukup besar seperti saat ini dalam lima tahun terakhir sejak bank sentral AS melakukan program tapering off di tahun 2013," ujar dia.
Agus juga menegaskan BI sedang giat-giatnya menerapkan stabilisasi di pasar, termasuk dual intervensi di pasar valuta asing dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, BI juga mengoptimalkan berbagai instrumen operasi moneter valas dan Rupiah, seperti lelang Forex Swap untuk menjaga ketersediaan likuiditas Rupiah dan menstabilkan suku bunga di pasar uang.
Sebelumnya, secara terpisah Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) A. Tony Prasetiantono menilai Bank Indonesia perlu untuk segera menaikkan suku bunga menghadapi depresiasi rupiah terhadap dolar AS sekarang ini.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Tony mengatakan bahwa BI harus menyadari bahwa era tren suku bunga rendah sudah tidak bisa dilanjutkan.

Ia menjelaskan bahwa sekarang ini hampir seluruh dunia sudah meninggalkan zona suku bunga rendah. Apabila tidak segera direspons, cadangan devisa akan semakin terkuras.
"Hal tersebut secara psikologis akan membuat pasar makin grogi. BI harus cepat menaikkan suku bunga, mau 25 atau 50 basis poin silakan," kata Tony.
Ekonom UGM ini berpendapat bahwa penaikan suku bunga dapat dilakukan di 25 basis poin untuk kemudian dievaluasi lagi setelahnya meskipun hal tersebut belum cukup.
"Pelemahan ini sudah terjadi cukup lama, respons masih kurang cepat sehingga mungkin kebutuhannya agak besar. Cuma kalau langsung 50 basis poin saya khawatir bisa menimbulkan efek psikologis kurang baik sehingga kontraproduktif," ucap Tony.

Meskipun tidak ada jaminan bahwadengan kenaikan suku bunga kemudian mampu memperkuat rupiah, lanjut Tony, minimal upaya tersebut bisa berusaha mengurangi beban pada cadangan devisa.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Rabu (9-5-2018) sore, bergerak melemah sebesar 30 poin menjadi Rp14.073 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.043 per dolar AS.
Tony menilai posisi rupiah di level Rp14 ribu terhadap dolar AS mengandung aspek psikologis yang harus dijaga.
Ia menilai posisi Rp14 ribu tersebut merupakan level yang seharusnya jangan sampai terlampaui.
"Karena pasar melihat situasi sudah seperti 1998. Padahal, kalau pelemahan rupiah dilihat perbandingannya dengan negara lain, Indonesia masih oke, dibandingkan misalnya Argentina," pungkas Tony Prasetiantono.(*)
Baca berita menarik lainnya dalam artikel: Deputi Bank Indonesia Yakin Pertumbuhan Ekonomi Berpeluang Lebih Tinggi
Bagikan
Berita Terkait
Langkah BI Stabilkan Rupiah di Tengah Ketegangan Aksi Demo

Kebijakan Bank Sentral AS Bikin Rupiah Melemah, Tarif Trump Bakal Dorong Inflasi

DPR Sepakati Ricky Perdana Ghozali sebagai Calon Gubernur BI

Sepekan Terakhir, Modal Asing Rp 2,36 Triliun Bersih Masuk Indonesia Dorong Rupiah Menguat Tipis

Tekanan Trump ke Bank Sentral Amerika Bikin Rupiah Menguat

DPR Puji Langkah Taktis BI Hingga Rupiah Kokoh di Level Rp16.700, Pasar Keuangan Aman Terkendali

Dolar AS Tersungkur, Rupiah Terbang Tinggi Berkat Keputusan Kontroversial Trump!

Rupiah Melemah dan IHSG Anjlok, Ketua DPR Dorong Ada Mitigasi

Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Melemah Tembus Rp16.849

Rupiah Melemah pada Penutupan Perdagangan Selasa (25/3), Proteksionisme Global dan Sentimen Domestik Dianggap Jadi Biang Kerok
