Rumus Kebebasan Berpendapat di Tengah Jeratan UU ITE


Ilustrasi pembungkaman kebebasan berpendapat. Foto: Istimewa
MerahPutih.com - Media sosial semakin digandrungi masyarakat di era digital sekarang ini. Budaya kritis yang biasanya disampaikan secara konvensional, kini beralih ke media sosial yang terbuka.
Namun, setelah terbitnya UU Nomor 11/2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), masyarakat merasa tidak lagi bebas mengutarakan pendapat, khususnya di media sosial. UU ITE dianggap membatasi nalar kritis masyarakat, terutama dalam mengkritik kebijakan pemerintah.
Baca Juga
Pemerintah Putuskan Revisi UU ITE, Mahfud: Hilangkan Pasal Karet
Padahal hak berpendapat warga negara secara resmi telah diatur dalam konstitusi UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Meski demikian, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Dr. Anthon F. Susanto mengatakan, ekspresi kebebasan berpendapat harus dilakukan secara proporsional agar tidak mencederai hak asasi orang lain.
Menurutnya, dalam kehidupan sosial, individu hidup secara berdampingan, sehingga kebebasan berpendapatnya dibatasi oleh kebebasan individu lain.
“Agar tidak berbenturan dan berujung pada konflik, setiap individu harus menghormati pranata sosial. Ketika menyampaikan pendapat, ada norma kesusilaan, etika, agama, dan hukum yang berlaku dan mesti ditaati,” jelasnya, Kamis (10/6).

Ia menjelaskan, UU ITE mengatur cara orang menyampaikan pendapat atau mengekspresikan gagasannya. "Menurut saya, sepanjang ungkapan kebebasan itu tidak menyinggung norma sosial, maka hukum tidak akan terlalu bergerak,” katanya.
UU ITE memang memberi batasan yang tegas dan ketat, sehingga alangkah baiknya sebelum menyampaikan pendapat di media sosial, perlu dicek kembali agar tidak menimbulkan hal-hal negatif.
“Ungkapan seperti apa yang bisa menimbulkan perpecahan atau huru-hara? Misalnya, sentimen keagamaan, norma sosial, agama, kesukuan, ras, atau bisa jadi mengganggu kepentingan penguasa. Dalam ranah ini tentu ada kepentingan politik dan hukum, bahkan masyarakat lain,” tambahnya.
Seseorang tidak bisa mengklaim ekspresi yang ia sampaikan netral, clear, atau tidak merugikan siapapun. Sebab, tidak ada ukuran netral di masyarakat. Bisa saja dianggap clear, tetapi belum tentu demikian bagi orang lain.
Anthon menyarankan tiga langkah sebelum mengekspresikan pendapatdi media sosial. Pertama, konfirmasi sebanyak-banyaknya tentang informasi yang akan disampaikan. Kedua, hindari hoaks dan kabar simpang siur. Ketiga, menghindari persoalan agama, suku, ras, kedaerahan, atau hal lain yang berpotensi menimbulkan konflik.
“Batasannya hanya tiga itu sebetulnya. Kalau masih menjadi persoalan, kita kan punya hak bela, hak keberatan, dan hak memberi penjelasan, apalagi dilindungi hukum. Yang paling penting jangan takut, tapi tetap berhati-hati, karena kehati-hatian menunjukkan itikad baik kita,” tutupnya. (Imanha/Jawa Barat)
Baca Juga
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Polisi Jerat Direktur Lokataru Dengan Pasal Perlindungan Anak dan UU ITE

Member Group 'Fantasi Sedarah' Ditangkap, DPR Sebut Pemerintah tak Tinggal Diam Hadapi Kejahatan Ruang Digital

Mahasiswi ITB Pengunggah Meme Tak Senonoh Prabowo dan Jokowi Dikeluarkan dari Penjara, Diminta Lanjutkan Kuliah

ITB Beri Pendampingan untuk Mahasiswi yang Ditangkap Gara-Gara Meme Prabowo Jokowi, Keluarga Minta Maaf

Polisi Bakal Beradaptasi Dengan Putusan MK Terkait UU ITE, Tidak Tindak Kerusahan di Medsos

5 Orang yang Dilaporkan karena Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Disertakan Pasal UU ITE hingga Fitnah

Polri Pastikan Tunduk Putusan MK Pasca Sejumlah Pasal ‘Karet’ Dikoreksi

Cegah Abuse of Power, MK Kabulkan Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE Tidak Berlaku untuk Pemerintah

MK Putuskan Syarat Hoaks Bisa Dipidana, Kerusuhan di Ruang Digital Tidak Termasuk

Amnesty International Sebut Serangan Kebebasan Berekspresi Tembus Level Mengkhawatirkan
