Ragam Menu Rijsttafel, Sajian Lengkap Tiga Budaya


Seminar "Rijsttafel: Satu Meja Banyak Rasa" di rangkaian acara pameran 'Jejak Memori Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori' yang diadakan oleh Museum Kesejarahan Jakarta. (Foto: MP/Hendaru TH)
"PENJAJAHAN di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 yang biasa dibacakan secara lantang petugas upacara sekolah tiap hari Senin. Inilah sikap tegas terhadap penjajahan atau kolonialisme. Tak ada kolonialisme yang bisa dibenarkan. Kolonialisme menimbulkan banyak penderitaan bagi warga yang mengalaminya. Pengaruh kolonialisme bahkan menyentuh hingga ke sisi paling dalam hidup manusia. Misalnya ke soal urusan perut dan lidah.
Kehadiran orang Belanda di Nusantara mengenalkan budaya makan baru yang disebut rijsttafel. Secara harfiah, rijsttafel berarti meja nasi. Sementara secara maknawi, rijsttafel adalah penyajian makanan orang tempatan dengan gaya Eropa.
"Dari rijsttafel inilah orang Indonesia mengenal berbagai jenis makanan baru seperti semur, sup, zwartzuur, sampai perkedel," kata Fadly Rahman, penulis buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, dalam seminar "Rijsttafel: Satu Meja Banyak Rasa" di rangkaian acara pameran Jejak Memori Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori yang diadakan oleh Museum Kesejarahan Jakarta, Jakarta (13/10).
Rijsttafel dipraktekkan oleh keluarga Belanda untuk membedakan status sosial mereka dengan orang-orang tempatan. Hidangannya boleh sama, tapi cara menyajikannya harus beda. Bayangkan, hanya untuk tiga sampai empat orang saja, pelayan yang dibutuhkan untuk menyajikan rijsttafel bisa sampai belasan atau puluhan.
Rijsttafel lalu berkembang jadi atraksi untuk mengundang turis ke Hindia. Kapal-kapal Belanda yang berlayar ke Hindia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menawarkan rijsttafel di kapal. Kemudian di Hindia Belanda, hotel-hotel Eropa pun menjadikan rijsttafel sebagai atraksi untuk makan siang.
Hotel Des Indes di Batavia, seperti dilaporkan M Buys pada 1898, menyajikan rijsttafel dengan beragam menu. Antara lain saus kare, daging, sayur mayur, kaldu, sambal-sambalan, ikan merah Makassar, dan chutney (saus berbumbu rempah-rempah yang dibuat dari sayuran segar atau buah-buahan yang dilumatkan). Ada juga makanan Eropa seperti sayur-sayuran, daging, dan selada. Makan siang diakhiri dengan dessert.
Baca juga:
Museum Kesejarahan Jakarta dan Kunstkring Gelar Pameran Jejak Memori Rijsttafel

"Bisnis perhotelan berperan penting dalam promosi makanan tradisional yang dikemas dalam konsep rijsttafel kepada para turis yang berkunjung ke Hindia. Karena itulah menu dan penyajian makanan harus dibuat sebaik dan secocok mungkin," kata Fadly Rahman.
Fadly menyebut perkembangan hidangan tradisional dengan cara formal di ruang hotel sebagai infiltrasi kuliner.
Rijsttafel disajikan saat makan siang. Para pelayan membawakan piring berisi sajian kepada para tamu. Tiap piring berisi satu sajian. Dan tiap pelayan biasanya memegang dua piring.
Kriteria jenis hidangan beralas pada konsep Belanda. Setiap makanan dalam satu piring berarti satu jenis hidangan. Sementara orang tempatan menganggap hidangan tersebut hanya pelengkap.
"Oleh karena itu beberapa sajian pelengkap seperti acar, aneka sambal, dan kerupuk pun dalam pandangan orang Belanda adalah beberapa jenis hidangan karena masing-masing ditempatkan dalam piring tersendiri," ujar Fadly.
Juru masak memegang peranan penting dalam penyajian hidangan rijsttafel. Mereka mengolah hidangan campuran yang diambil dari tiga budaya besar: Hindia, Tionghoa, dan Barat. Percampuran kuliner ini pun terlihat dari peralatan yang ada di dapur. Ilustrasi karya W.A. van Rees pada 1891 menunjukkan adanya peralatan penanak nasi dan cetakan kue poffertjes (panekuk) yang tergantung di dinding.
"Dilihat dari gambar juru masak dan alat-alat memasak yang ada, hidangan yang dibuat oleh juru masak Pribumi adalah hidangan Pribumi dan Eropa," kata Fadly.
Modifikasi hidangan Pribumi dan Eropa sangat mungkin terjadi karena adanya interaksi antara pemilik dapur atau bisnis wisata dari golongan Eropa dengan para juru masak Pribumi. Ini terlihat dari perkembangan hidangan rijsttafel pada awal abad ke-20. Hidangan pribumi tak lagi dominan sebagai menu. Ada pula variasi makanan Eropa dan Tionghoa dalam menu rijsttafel.
"Rijsttafel tak lagi identik dengan makan nasi dan hidangan pribumi saja tetapi mencakup pula berbagai jenis makanan baru yang kemudian berkembang menjadi bagian dari makanan Indonesia," ujar Fadly.

Contoh hidangannya semur, bistik, sup, zwartzuur, dan perkedel. Semur berasal dari kata Smoor. Makanan bercitarasa manis khas Belanda ini menggunakan daging ayam atau sapi. Dalam menu rijsttafel, namanya smoor Djawa dan memakai ikan bandeng atau kakap sebagai bahan utamanya.
Bistik awalnya disebut biefstuk. Ini adalah makanan utama orang Belanda yang dibuat terpisah dari hidangan nasi. Bistik terbuat dari daging sapi yang disajikan bersama kentang, kacang polong, dan wortel. Di tangan orang tempatan, bistik disantap bersama nasi.
Sup atau soep disajikan panas sebagai hidangan pembuka dalam kebiasaan orang Belanda. Namun, begitu disajikan di Hindia, sup dibiarkan dingin dulu, setelahnya baru disantap. Mengingat iklim tropis di Hindia. Orang tempatan juga mengadopsi sup sebagai salah satu sajian sayur dan dimakan bersama nasi.
Zwartzuur atau dalam lidah Indonesia disebut suwar-suwir adalah makanan berbahan daging ayam atau itik. Orang Belanda mencampurkan bir, anggur merah, anggur putih, atau cuka ke makanan ini sehingga citarasanya masam. Begitu masuk ke Hindia, makanan ini justru disiram oleh kecap manis dan sedikit cuka sehingga cita rasanya manis asam.
Terakhir adalah perkedel. Asal sebutannya adalah frikadel. "Karena susah mengucapkan huruf f, sebutan frikadel diganti jadi perkedel. Makanan ini terbuat dari kentang, daging sapi, babi, atau ikan yang digiling. Masuk ke Hindia, perkedel mengalami penyesuaian bahan dengan tempe, tahu, atau jagung.
Sementara pengaruh Tionghoa masuk ke rijsttafel seiring menjamurnya restoran dan pedagang makanan keliling Tionghoa. Beberapa jenis makanan asal Tionghoa mulai dikenal masyarakat, lalu masuk ke rijsttafel pada awal abad ke-20.
Jasa para penulis buku resep rijsttafel pun turut andil memasukkan hidangan Tionghoa ke rijsttafel. Buku-buku itu memuat variasi hidangan Pribumi, Eropa, dan Tionghoa. Ada yang menyajikannya secara asli per hidangan, ada pula yang sudah jadi dalam bentuk perpaduan antara ketiganya. "Misalnya, hidangan nasi biasanya disajikan dengan menggunakan banyak kuah," terang Fadli.
Baca juga:
Pengaruh Budaya Eropa terhadap Kebiasaan Makan Orang Indonesia

Meski setelah Indonesia merdeka cara penyajian rijsttafel mulai jarang ditemukan, menunya masih bertahan hingga sekarang. Menu-menu ini diolah kembali sesuai dengan citarasa pembuatnya.
Di restoran Kunstkring, Jakarta, misalnya, menu rijsttafel lama dipadukan dengan makanan khas Betawi. "Untuk makanannya, memang khas makanan-makanan Betawi-Belanda. Contohnya semur lidah. Ada juga sayur gambas udang. Lalu ada sate lembut Betawi. Sate lembut itu sebenarnya makanan khas Betawi di mana daging sapi di-chop lembut dan disusun tusuk menggunakan batang tebu," tutur Dhian Okvitasari, perwakilan Grup Tugu yang membawahi restoran Kunstkring Jakarta.
Untuk nasinya, Kunstkring pakai nasi uduk. Ada juga karedok khas Betawi. Hidangan penutup berupa es selendang mayang yang sekarang sudah jarang didapatkan. "Mungkin anak-anak muda zaman sekarang banyak yang tidak mengerti es selendang mayang itu apa. Nah, itu kita padukan di sini menjadi Rijsttafel Betawi," tambah Dhian.
Kunstkring sedikit dari restoran Indonesia yang masih pula mempertahankan penyajian ala rijsttafel. Para pelayan berpakaian khas putih-putih dengan sedikit kain tradisional dan membawa hidangan itu ke pengunjung restoran.
Suasana restoran juga dibuat sedemikian rupa agar tampak klasik. Dekorasi dinding, tirai, serbet, dan perabotan makannya ditata ala Eropa. "Kita berupaya untuk menyajikan makanan yang berbeda dari restoran lain dengan rijsttafel. Terlebih gedung ini memang pernah digunakan sebagai restoran," ujar Dhian.
Adiva Cesha, Duta Museum Jakarta 2019, mengagumi akulturasi budaya kuliner itu masih bertahan hingga sekarang. Menurutnya, hidangan dalam rijsttafel merupakan kejeniusan bangsa Indonesia dalam mengolah makanan. "Aku rasa ini bisa bikin kita bangga. Sejarah dan budaya kita beragam banget," kata Adiva.
Itulah menu-menu rijsttafel yang mewarnai sejarah kuliner Indonesia. Hmm, habis bahas makanan, jadi lapar nih. Yuk, jajal hidangan masa kolonial rasa lokal. (dru)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Jeritan UMKM di District Blok M, Harga Sewa Naik Langsung Bikin Tenant Cabut

Menemukan Ketenangan dan Cita Rasa Bali di Element by Westin Ubud, Momen Sederhana Jadi Istimewa

Karyawan Palsukan Tanggal Kedaluwarsa, Jaringan Ritel Jepang Hentikan Penjualan Onigiri

Oase Seribu Rasa di Arena Lakeside Kemayoran, Sajikan Kelezatan Nusantara dan Asia Tenggara dengan Sentuhan Modern

Berburu Promo Makanan di 17 Agustus, dari Potongan Harga sampai Tebus Murah

Bertualang Rasa di Senopati, ini nih Rekomendasinya
Gerakan ’SAPU PLASTIK’ Kumpulkan 2,5 Ton Limbah, Beri Apresiasi Pelanggan dengan Diskon 20 Persen

Menilik Deretan Menu Spesial ala Future Menu 2025 Ramaikan Industri Kuliner Indonesia

Dukung Gaya Hidup Sehat, ini nih Manfaat Sehat Jus Cold-Pressed

Menikmati Nuansa Sarapan Ala New York di Tengah Jakarta
