Pengaruh Budaya Eropa terhadap Kebiasaan Makan Orang Indonesia


Ilustrasi sajian makan. (http://www.annashihah.org)
MESKI berbagai kekejaman terkait kemanusiaan tak bisa lepas dari masa kolonial Belanda. Namun, ada juga hal lain yang bisa dikenang dan bahkan tanpa disadari masih dapat dirasakan masyarakat Indonesia hingga kini.
Salah satu hal menarik dari masa penjajahan kolonial Belanda adalah mengenai akulturasi budaya masyarakat lokal dengan Eropa. Persentuhan itu sangat kentara dalam pengaruh cita rasa Belanda terhadap khazanah kuliner Indonesia.
Sebagaimana tampak dalam wajah kuliner bangsa, persentuhan budaya itu justru kini menjadi kebiasaan kolektif masyarakat luas. Fadly Rahman dalam bukunya Rijsttafel menjelaskan, gaya prasmanan sebagai gaya penyajian makanan yang sangat lumrah bagi masyarakat Indonesia justru merupakan gaya Eropa. "Menggantikan kebiasaan makan pribumi duduk berlesehan di lantai," kata Fadly dalam bukunya.
Selain itu, kata Fadly, penggunaan sendok dan garpu juga merupakan bagian dari kebiasaan orang-orang Eropa. "Pada abad ke-19 di Indonesia dan Asia Tenggara lazimnya masyarakat menggunakan tangan telanjang yang sudah dibasuh air sehingga nasi tidak akan lengket di jari," katanya.
Sementara itu, Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX) menjelaskan, perpaduan budaya Eropa dan masyarakat lokal sudah mulai menggejala deras sejak abad ke-19. "Suatu perpaduan yang kemudian dikenal dengan istilah Indis," kata Soekiman.
Pengguaan kata Indis sendiri, dijelaskan Soekiman berkaitan dengan kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pendukungnya yang terbentuk semasa kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Soekiman juga mengatakan, kelestarian budaya Indis pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat yang mewujudkan gaya hidup, yang meliputi seni bangunan, cara berpakaian, bahasa, dan kebiasaan makan.
"Keberadaan budaya Indis adalah saling membutuhkan, tergantung, dan menghidupi antar-keduanya (symbiotic relation)," katanya.
Sementara itu, Rob Nieuwenhuys dalam buku Tempo Doeloe-een Verzonken Wereld Fotografische Documenten Uit het Oude Indie 1870-1920 menjelaskan, cermin potret kehidupan orang Belanda dan Indonesia merupakan bingkai kehidupan masyarakat Hindia Belanda pada masa 1870-1920, yang disebutnya sebagai masa 'tempo doeloe'.
"Tempo doeloe merupakan konsep ketika orang-orang Belanda membawa perubahan-perubahan besar bagi kehidupan di Negeri Hindia," kata Rob dalam bukunya.
Penulis buku The Emergence of the Modern Indonesian Elite Robert van Niel mengemukakan, hubungan orang Belanda dan Indonesia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik pemerintah pada saat itu. Sesudah tahun 1800, sikap acuh tak acuh pihak kolonial Belanda, juga sikap Inggris yang menguasai Pulau Jawa pada 1811-1816 mulai berubah.
"Perubahan tersebut di antaranya dapat dilihat dari harapan pemerintah kolonial untuk bisa berhubungan langsung dengan rakyat pribumi. Namun, pada kenyataannya harapan untuk berhubungan secara langsung dengan rakyat tidak pernah berhasil," tulis Niel.
Sementara, peneliti sejarah kuliner Heri Priyatmoko menjelaskan, pergumulan budaya Belanda lainnya yang memengaruhi masyarakat lokal adalah rijsttafel. Secara harfiah, kata Heri, rijst berarti nasi, sedangkan tafel adalah meja.
"Dua kata ini dipadukan menjadi 'hidangan nasi'. Komunitas Belanda mencomot istilah itu guna menyebut jamuan hidangan Indonesia yang ditata komplet di atas meja makan," kata Heri saat dihubungi Merahputih.com, Rabu (18/4).
Lebih lanjut, Heri mengatakan bahwa penulis roman Belanda, Victor Ido (1948) menjelaskan, rijsttafel diartikan sebagai "...eten van de rijsmaaltijd een speciale tafel gebruikt"; sajian nasi yang dihidangkan secara istimewa. "Yang dianggap spesial dari rijsttafel ialah perpaduan budaya makan pribumi dan Belanda seperti tertampil dari pelayanan, tata cara makan, dan hidangannya," katanya.
Kemudian, memasuki dasawarsa kedua dan ketiga abad ke-20, kebiasaan rijsttafel semakin eksis berkat sektor pariwisata. Hidangan masyarakat lokal seperti soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, lunpia, dan lainnya justru dikenal mancanegara lewat sajian rijsttafel itu sendiri.
Akulturasi menandai pembentukan salah satu budaya Indis tersebut. Sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat dalam Pengantar Antropologi, akulturasi merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang sedemikian rupa.
Sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan asli tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Tak pelak jika akulturasi tersebut menjadi bingkai dalam memandang budaya kuliner sebagai paduan budaya Belanda dan Indonesia. (*)
Bagikan
Berita Terkait
Coco Series dari Roemah Koffie Dikenalkan di Athena, Membawa Ciri Khas Tropis

Ahhh-fterwork Hadirkan Perjalanan Multisensori nan Penuh Petualangan, Ditutup Sesi Omakase Memanjakan Lidah

Remaja China Kencingi Kuah Hotpot, Diharuskan Ganti Rugi Rp 4,7 Miliar

'Demon Slayer: Infinity Castle' Jadi Inspirasi Kolaborasi Menu Minuman Eksklusif

Jeritan UMKM di District Blok M, Harga Sewa Naik Langsung Bikin Tenant Cabut

Menemukan Ketenangan dan Cita Rasa Bali di Element by Westin Ubud, Momen Sederhana Jadi Istimewa

Karyawan Palsukan Tanggal Kedaluwarsa, Jaringan Ritel Jepang Hentikan Penjualan Onigiri

Oase Seribu Rasa di Arena Lakeside Kemayoran, Sajikan Kelezatan Nusantara dan Asia Tenggara dengan Sentuhan Modern

Berburu Promo Makanan di 17 Agustus, dari Potongan Harga sampai Tebus Murah
